Advokasi kita - Pemilu
Urung Rembuk Mersepon Temuan Hasil Pemantauan PJS Untuk Perbaikan Layanan di Panti Sosial
Pada Kamis, 18 November 2021 Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengikuti Focus Group Discussion (FGD) Refleksi Kebijakan di Kantor Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Setelah melakukan kunjungan untuk pemantuan penghuni panti galuh dan jamrud biru, PJS melakukan advokasi terhadap hasil temuan. Berdasarkan hasil temuan yang PJS dan Pokja P5HAM sampaikan, maka direktur Rehabilitas Sosial Penyandang Disabilitas Ibu Eva Rahmi Kasim memberikan tindak lanjut dengan mengadakan FGD Refleksi Kebijakan dengan mengundang PJS, Direktorat lnstrumen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Pusat Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial dan Penyuluhan Sosial, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Dinas Sosial Kota Bekasi, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Panti Jamrud Biru dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.
Adapun tujuan dari FGD ini bukanlah untuk menyalahkan berbagai pihak namun untuk memperbaiki sistem layanan di panti. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, H. Adun abdullah Safi'i memberikan respon terkait dugaan pelanggaran HAM PDM di LKS :
“Terdapat rencana anggaran Rp.16 miliar untuk pembangunan panti sosial mental. Saat ini persoalan perawatan disabilitas mental itu dibebankan kepada panti milik swasta. Kita akan evaluasi dan cari solusi ulang, saya gak bisa menyerahkan ini salah siapa dan jangan saling menyalahkan.Pemprov menyatakan bahwa tahun 2022 lebih optimal dengan LKS PDM”. Ucap Beliau.
Pada kesempatan yang sama Kepala Pusat Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial dan Penyuluhan Sosial Tati Nugrahati mengatakan :
“Terdapat 6 standar yang kami nilai mulai dari standar pelayanan bimbingan program, manajeman organisasi, Sarpras, SDM, proses pelayanan, hasil layanan. Tapi sifat BALKS ini menilai secara administrasi kemudian kami akan menilai sarana dan prasarana serta hasil dari pelayanan. jadi jika ada kekurangan kedepannya tidak berkaitan dengan hasil akreditasi BALKS diawal. Tapi dengan adanya akreditasi maka kami berhak mencabut jika dibuktikan tidak baik. Dan hasil akreditasi itu hanya bertahan 3 tahun. Kami sepakat ini menjadi catatan bahwa proses akreditasi harus diberi pendampingan untuk menjaga mutu kualitas kedepannya”.
dr. Hervita Diatri, Sp.KJ(K) psikiater dari RSCM menjelaskan Pelayanan kesehatan yang dibutuhkan PDM di LKS :
“PDM tidak sepenuhnya dapat memahami bahwa bantuan orang lain itu penting. Sehingga jika kita berpatokan dengan standar kami, standar atau panduan yang harus disusun harus ada kriteria masuk dan kriteria keluar. Seharusnya panti menolak jika memang rasio petugas dengan PDM atau rasio PDM dengan kapasitas ruangan tidak seimbang. Teman-teman Yayasan masih minim sekali terkait pengetahuan kesehatan. SDM harus diperhatikan kuantitas dan kualitasnya. Jadi sangat dibutuhkan peningkatan kapasitas para staff yayasan. Jadi diharapkan setelah kasus tersebut kedepannya menjadi lebih baik”.
Pemantauan yang dilakukan PJS bersama pemerintah bukan upaya untuk menjatuhkan salah satu pihak, namun menurut Yeni Rosa Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat :
“Saya sudah melakukan kunjungan ke yayasan galuh beberapa kali. Ada beberapa catatan, contohnya yayasan galuh sesudah banyak upaya akhirnya memberikan pelayanan medis, ….Sangat dibutuhkan untuk dibuat protokol penanganan medis bagi PDM yang mengalami sakit. Terkait akreditasi harus ada standar yang jelas. Poin dalam akreditasi harus memiliki penjelasan yang detail. PJS dapat ikut mendampingi BALKS dalam membuat dan mendesign instrumennya, kami juga bisa memberikan training terkait akreditasi dan berpartisipasi dalam pendampingan jika sedang melakukan pengawasan akreditasi.Ketersedian pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana, dan perlindungan harus detail. Perlu disediakan akses agar PDM dapat meminta pertolongan apabila terjadi sesuatu.”
Hasil dan rekomendasi FGD tersebut ialah :
1. Dibutuhkan pendampingan dari Lembaga PDM untuk melakukan penilaian akreditasi oleh BALKS berdasarkan 6 standar.
2. Diperlukan adanya edukasi dan assessment terhadap PDM
3. Dibutuhkan pencatatan orang yang meninggal di panti sebagai salah satu perbaikan sistem.
Berdasarkan hasil dan rekomendasi FGD tersebut, kami masih belum mendapatkan respon konkret pemerintah terkait dugaan pelanggaran HAM PDM di Panti Sosial. Oleh karena itu, kami melakukan tindak lanjut dengan melakukan advokasi dan pembebasan salah satu penghuni di panti Jamrud Biru yaitu “D” yang tidak mendapatkan pelayanan secara baik dan akan diduga sebagai korban pelecehan seksual oleh oknum staf panti.
Untuk penjelasan lebih lanjut terkait proses advokasi dan pembebasan penghuni “D” tersebut dapat diakses melalui link berikut :
Pembebasan Perempuan Penghuni Panti Dugaan Korban Kekerasan Seksual
Meninjau Kondisi Panti Galuh dan Jamrud Biru
Pada Senin, 15 November 2021 Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) melakukan Pemantauan penghuni panti galuhdan jamrud biru bersama Direktorat Instrumen Hak Asasi manusia-Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas-Kementerian Sosial dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat). Pemantauan ini dilaksanakan dalam rangka pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan, dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (P5HAM) Bagi Peyandang Disabilitas Mental. Pembentukan Pokja P5HAM sebagai langkah maju untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental.
Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di panti sosial atau rehabilitasi harus tinggal bertahun-tahun, mengalami berbagai perlakuan tidak manusiawi. Selama ini, mereka belum mendapat perhatian khusus pemerintah. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan peran serta aksi dari pihak-pihak terkait dalam penanggulangan permasalahan ini. Penyandang disabilitas mental juga memiliki hak atas perlindungan dan pemenuhan kebutuhan hidup selama di panti sosial. Situasi ini memunculkan kebutuhan mendesak bagi para penyandang disabilitas mental yang berada di panti sosial untuk mendapatkan keadilan dalam Hak Asasi Manusia.
Dalam rangka melakukan advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak PDM. PJS berkolaborasi bersama Direktorat Instrumen Hak Asasi manusia-Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas-Kementerian Sosial, dan LBHM untuk pembentukan Pokja P5HAM bagi Penyandang Disabilitas Mental. Pokja P5HAM ini diharap dapat mengawal pelaksanaan perlindungan PDM.
Salah satu rangkaian kegiatan dalam pembentukan Pokja P5HAM tersebut ialah melakukan kegiatan pemantauan ke panti sosial, diantaranya panti Galuh dan Yayasan Jamrud Biru di Kota Bekasi-Provinsi Jawa Barat secara langsung jalannya standar operasional prosedur rehabilitasi didalam Panti Sosial ini.
Kondisi PDM dari 2 panti ini sedikit banyak dapat mewakili gambaran dari puluhan ribu pemghuni panti di Indonesia. Kondisi panti sangat tidak nyaman dan tidak layak, penghuni tidur hanya beralaskan triplek, dan digabung dalam satu ruangan. Di Panti Jamrud Biru keseluruhan ruangan hanya tertutup dan beratap seng, lantai tidak dipasang ubin dan kurangnya aliran udara didalamnya. Sanitasi tidak memadai, Mandi, Cuci, Kakus yang tersedia juga sangat tidak layak, dimana kamar mandi yang tersedia hanya satu. Kondisi dapur juga sangat sempit dan kebersihannya tidak terjaga, para staf yang memasak juga tidak memperhatikan protokol kesehatan, tidak menggunakan masker ataupun sarung tangan tanpa memikirkan kebersihan makanan sehingga kondisi kesehatan makanan dan minuman yang dikonsumsi penghuni pun juga kurang terjamin kemananannya, terlebih para penghuni mengambil air minum dari aliran air keran yang belum dimasak.
Kesehatan penghuni pun kurang mendapatkan perhatian dari pihak panti yang tidak memiliki kerjasama dengan fasilitas kesehatan setempat, padahal perawat kesehatan yang terdapat di panti bukanlah tenaga kesehatan atau berlatar belakang dokter atau pun perawat melainkan hanya staf. Oleh karena itu, bagaimana mungkin PDM dalam panti dapat kembali sehat sedangkan untuk makanan dan kondisi tempat tinggal mereka dalam keadaan yang kurang memadai seperti itu.
Privasi dari penghuni wanita kurang terjaga karena para staf laki-laki bebas untuk keluar masuk ruangan para penghuni wanita dan tidak adanya ruang tertutup untuk mereka beristirahat. Kesaksian dari penghuni juga menyatakan bahwa tradisi rantai merantai masih diterapkan dan menjadi salah satu ancaman para staf kepada penghuni perempuan jika tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Dan itu sudah melanggar penerapan HAM bagi PDM di dalam panti.
Saat kami melakukan pemantauan terdapat salah satu penghuni Panti Jamrud Biru yang meninggal dunia, diduga mengalami diare selama berhari-hari hingga mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan. Hal ini diduga akibat perawat kesehatan yang berugas di yayasan ini juga bukanlah tenaga kesehatan melainkan hanya staf dari Panti yang tidak berlatar belakang sebagai seorang tenaga medis. Panti tidak memiliki kerjasama dengan pihak kesehatan. Fakta tersebut akhirnya menimbulkan pertanyaan yang menggelisahkan yaitu, Bagaimana kondisi penghuni panti lain saat kami tidak melakukan pemantauan di panti ini?
Pasca pemantauan, PJS melakukan sounding atau advokasi ke pemangku kepentingan seperti lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan pihak lainnya. PJS mendapatkan respon yang beragam, salah satunya respon dari pihak Jamrud Biru yang terindikasi melakukan ancaman. Oleh karena itu, Kementerian Sosial melakukan FGD, dengan tujuan bukan untuk mencari siapa yang salah namun mencari solusi untuk memperbaiki sistem pelayanan di panti sosial.
Untuk penjelasan lebih lanjut terkait hasil Focus Group Discussion (FGD) yang merupakan hasil sounding atau advokasi PJS terkait penegakkan Hak Asasi Manusia Penyandang Disabilitas Mental, dapat diakses pada link berikut ini :
Urung Rembuk Mersepon Temuan Hasil Pemantauan PJS Untuk Perbaikan Layanan di Panti Sosial
Pembelajaran Covid-19 Untuk Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas
Kamis, 23 Desember 2021 Kementerian PPN/Bappenas dan didukung oleh MAHKOTA dan AIPJ2 serta berkolaborasi dengan Jaringan DPO Respon Covid Inklusif menyelenggarakan Webinar Hasil Studi Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Penyandang Disabilitas.
Menurut Muhammad Joni Yulianto, pada Februari 2021, Jaringan DPO Respon COVID Inklusif melakukan studi kuantitatif tahap 2 di 34 provinsi di Indonesia dengan melibatkan 1.597 responden di seluruh provinsi Indonesia. Hal ini mendapatkan dukungan dari AIPJ maupun mitra pembangunan yang mensukseskan survey ini, Survey ke-2 ini ingin melihat konsistensi dampak pandemi Covid-19 terhadap penyandang disabilitas.
Dalam studi tersebut tergambarkan bahwa pandemi Coviud-19 terhadap penyandang disabilitas. Ketika diputuskan dari pekerjaan, penyandang disabilitas akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan baru, ada 21% pekerjaan penyandang disabilitas berubah (bangkrut, di-PHK, keluar karena upahnya diturunkan atau hari kerja). 37,3% pekerja penyandang disabilitas mengalami penurunan pendapatan. Kemudian selama 1 tahun keaadan pandemi Covid tidak ada perbaikan dari sisi pekerjaan penyandang disabilitas, yang pulih jumlahnya hanya 16% (hari kerja). Yang membuat dampak ini berat bagi penyandang disabilitas adalah hambatan mereka sebelum pandemi itu sidah banyak sehingga ketika terjadi guncangan covid-19, kesulitan dan kesenjangan mereka menjadi lebih besar lagi, tukas Sinta Satriana (social protection specialist Mahkota).
Pentingnya ada perlindungan sosial saat pandemi terkihat dari cakupan perlindungan saat pandemi meningkat 2 kali lipat melalui program baru atau peningkatan penerima manfaat dari program yang telah ada. Namun program tersebut sifatnya hanya bantuan sosial, sedikit sekali penerima manfaat program yang menjangkau penyandang disabilitas untuk bekerja (kartu prakerja).
“Kami berharap dengan assessment ini menjadi rujukan inklusivitas penanganan pandemi dalam hal penanggulangan dampak dan pemulihan”, tukas Ishak Salim (Ketua Perdik).
Menurut Mercoledi Nasiir dari Prospera, rumah tangga dengan anggota keluarga yang memiliki disabilitas umumnya memiliki pengeluaran/belanja tambahan (extra cost). Dari data Susesnas Prospera menghitung biaya tambahan penyandang disabilitas per kapita bervvariasi tergantung ragam disabilitas dan tingkat keparahannya. Pengeluaran perkapita penyandang disabilitas rata-rata 19% lebih tinggi daripada non-disabilitas. Namun jika dibagi berdasarkan sektor, pengeluarannya lebih besar di sektor kesehatan, transportasi dan pendidikan. Baiaya tambahan untuk penyandng disabibilitas ini nyata, tukas Mercoledi.
Biaya tambahan ini menurut hasil kajian dalam kertas kebijakan Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas yang dikoordinir oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, terdiri dari 8 jenis, yaitu: 1) Pengadaan alat bantu dan perawatannya; 2) Asisten personal (disabilitas berat); 3) Transportasi (modifikasi kendaraan/transportasi khusus/pendampingan dalam perjalanan); 4) Terapi; 5) Obat-obatan rutin; 6) Juru bahasa (disabilitas rungu); 7) Modifikasi tempat tinggal dan 8) Modifikasi software pendukung (screen reader).
Menurut Antony Tsaputra, perwakilan tim perumus kertas kebijakan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, tidak disangkal bahwa perlindungan sosial di daerah sangat vital agar mereka dapat terpenuhi dan terlindungi kehidupan sosial penyandnag disabilitas pada tahun 2020 mencapai 22, 22 juta jiwa. Dari jumlah itu, pada akses perlindungan sosial tercatat hanya 1,07 juta jiwa penyandang disabilitas yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau 5% dari total penerima manfaat (Bappenas, 2021). Kemudian Jumlah dan cakupan penerima manfaat program perlindungan sosial yang ditujukan kepada penyandang disabilitas masih terbatas. Program perlindungan sosial lebih banyak menargetkan kepada rumah tangga miskin. Prioritas penyaluran program perlindungan sosial, terutama yang berbasis bantuan sosial (PBI JKN, PKH, PIP/KIP, KKS, BPNT, dll) masih berbasis data kemiskinan yang merangkum 40% rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah. Sementara itu, penyandang disabilitas termasuk yang telah berusia dewasa banyak yang menumpang tinggal ke rumah sanak keluarganya. Apabila rumah tangga tempat penyandang disabilitas menumpang tidak masuk dalam kategori rumah tangga miskin penerima manfaat, maka penyandang disabilitas tersebut walaupun miskin dan tidak memiliki mata pencaharian, tidak akan terdata sebagai rumah tangga miskin, sehingga berimplikasi pada tidak mendapatkan berbagai program perlindungan sosial berbasis keluarga ini, tukas Antony
Menurut Antony, perlu ada reformasi skema perlindungan sosial Indonesia yang afirmatif bagi pennyandang disabilitas. Beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu:
- Menyesuaikan program-program yang sudah ada supaya lebih inklusif;
- Menyusun skema manfaat yang ditujukan khusus bagi penyandang disabilitas (disability benefit) seperti: a) Konsesi. Bentuknya berupa pembebasan atau pengurangan biaya listrik, transportasi, air, sewa rumah, pulsa telepon dan internet, makanan, tempat rekreasi, dll. Konsesi ini harus bersifat universal atau tidak tergantung kondisi keparahan dan harus berlaku untuk semua ragam disabilitas, b) Transfer tunai, Bentuknya: tunjangan langsung disabilitas berlaku seumur hidup, tunjangan pengangguran, tunjangan pendapatan, tunjangan perempuan disabilitas yang berkeluarga, tunjangan care giver, dll, c) Layanan langsung, serta program-program pendukung lainnya dengan tetap memperhatikan semua ragam disabilitas dan gender.
Untuk itu, menurutnya dalam memastikan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, maka diperlukan:
- Revisi: 1) UU No. 11 tahun 2009 Kesejahteraan Sosial dengan memperkenalkan program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas; 2) UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas diantaranya mendorong kewenangan multi sektoral, dan Mendorong pembentukan Tim Percepatan Inklusi Nasional sebagai badan koordinasi lintas kementerian/lembaga di tingkat pusat.
- Mempercepat proses pendataan disabilitas yang melekat dengan data kependudukan;
- Realisasi penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas yang didalamnya melekat hak untuk mengakses program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas;
- Penyediaan Pusat Pelayanan Terpadu Penyandang Disabilitas yang disediakan di setiap kabupaten/kota sebagai pusat pelayanan dan kordinasi terkait penanganan urusan disabilitas.
Dalam kajian TNP2K tahun 2018 diusulkan rekomendasi terkait mendorong pemberian tunjangan untuk penyandang disabilitas dan keterlibatan pihak swasta memberikan kontribusi dalam sistem perlindungan sosial nasional. Kemudian dalam sistem bantuan sosial TNP2K sangat mendukung coverage penerima manfaat ditingkatkan 40 terbawah ditambah dengan konsesi, tukas Sri Kusumastuti Rahayu (TNP2K).
Kantor Staf Presiden mengapresiasi hasil penelitian dan rekomnendasi yang dilakukan oleh jaringan organisasi disabilitas tersebut yang membantu pemerintah baik secara struktural, proses, maupun hasil, agar penyandang disabilitas sebagai subjek yang aktif untuk dikuatkan kapasitasnya dalam menyusun kebijakan di semua bidang, tukas Sunarman Sukamto.
Selain itu, hasil dari kajian/penelitian ini menjadi momentum yang tepat dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional dan Rencna Aksi Daerah Penyandang Disabilitas, tukas Maliki, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas.
Peta Masalah Pelanggaran HAM di Panti Sosial Rehabilitasi Mental
Link berikut untuk mengakses buku berjudul "Peta Masalah Pelanggaran HAM di Panti Sosial Rehabilitasi Mental" :
Buku_Peta Masalah Pelanggaran HAM di Panti Sosial Rehabilitasi Mental
Menumbuhkan Kesadaran Perlindungan Atas Tindakan Kekerasan di Internal Suatu Organisasi
Disability Rights Fund (DRF) bersama Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) melakukan pelatihan Preventing Sexual Exploitation, Abuse and Harasment (PSEAH) kepada 75 orang dari berbagai lembaga disabilitas di Indonesia (DRF Grantee). Pelatihan tersebut dilaksanakan pada Rabu, 3 November 2021 dengan menghadirkan Siti Mazumah (Ketua LBH APIK Jakarta) dan Yeni Rosa Damayanti (Ketua PJS).
Pada learning exchange yang kedua ini mengambil topik terkait peluang atau resiko kekerasan yang dilakukan oleh pelaku dari internal organisasi (pelaku dan korban dari organisasi atau lembaga yang sama). Fenomena seperti ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1990-an di kalangan gerakan organisasi perempuan. “Ini isu baru di kalangan gerakan disabilitas. Kita belum terbiasa membicarakan pelecehan seksual diantara kita. Di gerakan perempuan ini sudah menjadi isu yang dibicarakan dari sejak 1990-an. Saat saya menjadi pengurus Solidaritas Perempuan, ada kasus pelecehan dari pengacara Solidaritas Perempuan kepada anggota”, tukas Yeni.
Pada saat beberapa waktu lalu muncul pemberitaan seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS yang diduga menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh delapan rekan kerjanya. Kasusnya baru terungkap setelah MS mengirim surat terbuka tentang perundungan termasuk pelecehan seksual.
Menurut catatan LBH APIK Jakarta, kasus seperti ini umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ada relasi antara penguasa atau pimpinan suatu organisasi dengan suatu tindakan kekerasan seksual, seperti: perkosaan, intimidasi sosial (ancaman atau percobaan perkosaan), pelecehan seksual, eksploitasi sosial, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual), prostitus, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, aborsi, dan kontrasepsi/sterilisasi, dll. “Kemana mereka mengadu ketika pelakunya adalah internal dan orang penting”, tukas Yeni.
Oleh karena itu, setiap organisasi disabilitas diharapkan perlu membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait mekanisme pengaduan, pelibatan pihak eksternal dan internal dalam pencarian fakta dan alat bukti, melindungi saksi dan korban, layanan konseling, dll.
“Ketika ada kasus kekerasan seksual. Kita harus terima pengaduan korban, kita konfirmasi keterangan korban setelah korban itu siap. Kemudian setelah itu teman-teman bisa berkomunikasi dengan pihak eksternal atau seperti LBH APIK, WCC untuk penguatan psikologis korban. Kemudian laporan ke kepolisian, visum, akses layanan kesehatan, rumah aman. Kalau sudah P21 akan maju ke pengadilan. Hal berikutnya Kita menjaga jarak dengan pelaku. kemudian jangan mendampingi sendiri”. Tukas Siti Mazumah.
Menurut Yeni Rosa Damayanti, harapannya pasca pelatihan PSEAH ini para peserta sudah memiliki komitmen atau respect agar tdiak melakukan kekerasan seksual baik itu lelucon. DRF akan menfasilitasi pertemuan lanjutan dan akan menfasilitasi layanan pengaduan atas tindakan kekerasan seksual penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas bisa mengirim laporan aduan ke emai: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.