Advokasi kita - Pemilu

Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) dan PJS Desak Pemerintah Atasi Pelanggaran HAM di Panti Sosial

Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) dan PJS Desak Pemerintah Atasi Pelanggaran HAM di Panti Sosial

 

 

Jumat (27-08), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) bersama dengan Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Penyandang Disabilitas Mental di Panti-Panti Sosial Berhak Merdeka”. KuPP merupakan sebuah kerjasama berbagai institusi di bawah Konvensi Anti Penyiksaan yang bertujuan untuk melakukan pencegahan penyiksaan. KuPP terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK.


Setelah berhasil menggandeng organisasi perempuan untuk mengangkat persoalan panti sosial dari sudut pandang perempuan dalam webinar sebelumnya, webinar yang berkolaborasi dengan KuPP kali ini merupakan salah satu upaya PJS untuk mengangkat persoalan panti sosial dari sudut pandang yang belum pernah diangkat sebelumnya yaitu sudut pandang Konvensi Anti Penyiksaan. Melalui kegiatan ini diharapkan isu panti mendapatkan perhatian yang lebih serius dan meningkatkan sense of urgency (keterdesakan) di kalangan pemerintah. 


Dalam webinar yang dihadiri oleh 200 peserta ini, hadir Ahmad Taufan Damanik selaku Ketua Komnas HAM RI yang memberikan sambutan. Sementara pembicara diskusi ini di antaranya adalah Eva Rahmi Kasim, Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Maman Imanulhaq, Anggota Komisi VIII DPR RI, J. Widijantoro, Komisioner Ombudsman RI, dan Wirya Adiwena selaku Wakil Direktur Amnesty Internasional Indonesia.


Pada sesi pemaparan materi, hadir pula Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yakni Dr. Hari Nur Cahaya Murni. Koordinator KuPP sekaligus komisioner Komnas HAM RI, Sandra Moniaga, turut serta sebagai penanggap.


Yeni Rosa Damayanti membuka diskusi dengan memaparkan soal masih banyaknya penyandang disabilitas mental yang tinggal di panti-panti sosial dan mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM sehari-hari. Hingga hari ini, menurut Yeni, mereka masih belum mendapat perhatian yang cukup dari aktivis HAM, masyarakat luas, maupun pemerintah. Tiga alasan yang menurutnya membuat panti disabilitas mental, terutama swasta, bermasalah adalah perampasan hak, penahanan sewenang-wenang, dan hukuman tanpa kejahatan. Ironisnya, beberapa panti sosial yang kondisinya demikian tersebut mendapatkan akreditasi A atau B dari pemerintah. “Kondisi ini dibiarkan dalam waktu yang sangat lama, sejak puluhan tahun yang lalu, oleh pemerintah kepada setidaknya 11.000 warga negara,” kata Yeni


Seluruh pembicara sepakat bahwa permasalahan di panti sosial disabilitas mental harus menjadi perhatian banyak pihak, termasuk masyarakat sipil. W. Widijantoro menyuarakan pentingnya menyuarakan permasalahan mengenai panti kepada Menteri Sosial serta meninjau ulang standar pelayanan panti. Sementara, Maman Imanulhaq dalam diskusi ini juga berjanji untuk membawa permasalahan panti kepada DPR dan MPR. Untuk melancarkan semua itu, kampanye permasalahan panti sosial menjadi semakin menemui urgensinya. Wirya Adiwena menjelaskan, pendekatan kampanye dan advokasi isu panti perlu dikemas dan dibingkai sesuai dengan fokus atau perhatian dari pemangku kepentingannya sehingga bisa menarik lebih banyak pihak untuk terlibat. 


Tak hanya masyarakat sipil, pemerintah jelas punya tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah ini. Dr. Hari Nur Cahaya Murni dan Eva Rahmi Kasim sepakat bahwa permasalahan panti kompleks karena tidak hanya terkait kesehatan jiwa tetapi juga kondisi sosial ekonomi, oleh sebab itu penanganannya harus melibatkan berbagai kementerian. Eva menambahkan bahwa menyangkut akreditasi panti, instansinya akan menyambut baik masukan dari masyarakat sipil untuk memperbaiki situasi di dalam panti. Hari Nur Cahaya Murni, atau yang akrab dengan sapaan Nunung, mengaku bahwa ini adalah pertama kalinya Kementerian Dalam Negeri mendengar laporan mengenai pelanggaran HAM di panti ini. Ia menawarkan bahwa permasalahan ini bisa dimulai dengan menyusun program jangka pendek, menengah, dan panjang terkait pemenuhan dan perlindungan hak penghuni panti yang melibatkan lintas kementerian. 


Sandra Moniaga sepakat bahwa pelanggaran HAM di panti sosial disabilitas mental butuh penanganan lintas sektor, oleh sebab itu ia mendorong pemerintah punya rencana yang strategis dan konkret. Perencanaan tersebut dapat dipetakan dalam jangka pendek maupun panjang. “Intinya, kita sudah tidak punya waktu. Hal ini sudah terjadi dalam waktu yang lama serta butuh penanganan yang berarti dan segera,” pungkasnya. Yeni menutup bahwa panti sosial yang mengurung disabilitas sebetulnya tidak sesuai dengan mandat CRPD yang menekankan pada hak penyandang disabilitas untuk hidup secara inklusif di masyarakat. Oleh karenanya, sudah saatnya pemerintah merancang program deinstitusionalisasi yaitu langkah-langkah penghapusan sistem panti untuk diganti dengan program lain yang lebih inklusif. Namun, sambil mempersiapkan hal tersebut, negara harus menjamin mereka yang ada di dalam panti saat ini tidak lagi mendapatkan perlakuan perendahan martabat, kekerasan, pelanggaran HAM, maupun penyiksaan.


Salam inklusi,

Perhimpunan Jiwa Sehat

Social Media PJS