Panti
Panti
Hentikan Pembiaran Tindakan Tidak Manusiawi di Panti Sosial
Penyandang Disabilitas Mental (PDM) masih menerima stigma negatif di masyarakat, bahkan Mereka dianggap berbahaya, berbeda dengan manusia pada umumnya, sehingga harusdikurung ataudiisolasi,dipasung,dibuang pada tempat-tempat khusus seperti panti sosial (sebutan lainnya adalah panti rehabilitasi, yayasan sosial, pondok pesantren, balai pengobatan alternatif) yang dikelola baik oleh pemerintah maupun swasta. Terlebih PDM juga dikategorikan sebagaikelompok Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial PMKS)berdasarkjan Peraturan Menteri Sosial RI No. 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial, serta Peraturan Menteri Sosial RI No. 106/HUK/2009 tentang Organnisasi dan Tata Kerja Panti Sosialdi Lingkungan Departemen Sosial, sehingga mereka yang ditemukan di jalan dpaat dengan mudah dibawa secara paksa oleh polisi, Satpol PP, maupun aparat negara lainnya ke panti-panti sosial. Observasi kami di beberapa panti di Bekasi menemukan bahwa sebagian penghuni panti merupakan hasil razia polisi maupun Satpol PP.
Penyandang disabilitas mental anak-anak maupun yangtelah dewasadapat dengan mudah dibawake panti sosialtanpa persetujuanmereka dantanpa ada pembuktian hukum dari pengadilan terkait kapasitas legal yang bersangkutan. Padahal mereka adalahsubyek hukum, mengingat tidak ada satupun ketetapan pengadilan yang menyatakan mereka tidak cakap hukum dan berada dibawah pengampuhan.
Mereka ‘dikurung’ tanpa memiliki kepastian kapan mereka akan keluar. Observasi kami pada berbagai panti sosial dipulauJawa menemukan para penghuni telah tinggal di panti sosial mulai dari 3 bulan hingga 10 tahun.Nasib mereka lebih buruk daripada narapidana, setidaknya para narapidana tahu kapan mereka akan bebas dan itu menjadisebuahharapan dalam menjalani kehidupan di dalam penjara. PDM tidak bisa memutuskan begitu saja kapan akan keluar dari pantisosial. Keputusan keluar hanya dapat diberikan oleh keluarganya. Bila tidak ada keluarga, pihak pengelola pantilah yang memutuskan kapan seorangPDMboleh keluar. Semua orang yang kami temui di pantisosial menyatakan sangat ingin keluar, namun tidak bisa karena belum diizinkan oleh keluarga atau oleh pengelola panti.
Para penghuni ‘dikurung’ dalam bangsal atausel atau ruangan. Di sebuah panti tidak jauh dari ibu kota Jakarta, seluruh dinding bangsal tempat penghuni tinggal terbuat dari jeruji besi. Bangsal di dalam panti-panti sosial biasa diisi sampai puluhan orang, seperti beberapa panti di Bekasi, setiapbangsal yang tidak terlalu luas bisa diisi 30 sampai dengan 40 orang. Selain bangsal, ada juga panti yang menempatkan PDM dalam sel-sel individual berukuran kecil, misalnya salah satu panti sosial di Cilacap, sel-sel individual ini berukuran sekitar 1,5x2,5 meter.
Dari hasil observasi Kami di beberapa panti sosial di Brebes-Jawa Tengah, para penghuni laki-laki dan perempuantinggal dalam suatu ruangan.Selain itu, beberapa penghuni panti berusia anak yang ditempatkan dalam ruangan yang sama dalam ruangan dewasa di sebuah panti di Bekasi.
Para penghuni harus tidur di lantai sel tanpa alas, dan dengan sanitasi yang buruk. Ada panti membuat selokan dangkal yang melintasi ruangan. Di selokan itu penghuni buang airsehingga menimbulkanaroma busuk tercium dari arah bangsal-bangsal. Kondisi kebersihan yang kurang terjaga, sanitasi yang buruk, dan kondisi ruangan terlalu lembab dan kurang mendapat sinar mataharimenyebabkan banyak diantara penghuni yang menderita penyakit kulit.
Tindakan pengobatan baik medis maupun non-medis diberikan tanpa persetujuan para penghuni. Di beberapa panti yang memberikan pengobatan medis untuk gangguan jiwa, penghuni panti bahkan banyak yang tidak mengetahui jenisdan fungsiobat yang diberikan kepada mereka. Observasi kami ke panti sosial di Bekasi pada Bulan Oktober 2018 menemukan bahwa semua penghuni disuntik obat anti-psikotik tanpa adanya pemeriksaan dan penegakan diagnosa individual. Semua penghuni yang berjumlah sekitar 400 orang tanpa peduli apakah orang tersebut psikotik atau bukan, dewasa atau anak-anak, semuanya disuntik obat yang sama dengan dosis yang sama. Penghuni tidak bisa menolak suntikan yang diberikan setiap dua minggu sekali ini.
Pengabaian terhadap kapasitas legal penyandang disabilitas juga tampak di pemaksaan sterilisasi atau pemasangan alat kontrasepsi terhadap penghuni perempuan.Kapasitas hukum mereka dihapus secara informal, pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab melakukan pengobatan bisa melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menentukan bagaimana orang dengan disabilitasmentaldiperlakukan. Mereka dianggap tidak memiliki kapasitas mental untuk berhubungan seks sehingga menganggap setiap kehamilan adalah hasil dari pemerkosaan.
Kami menjumpai bahwa ada beberapa panti dimana penghuninya dibiarkan kelaparan. Salah satu diantaranya adalah padepokan di Kebumen dan Sragen. Penghuni yang diwawancara membutuhkan makan dan minum dan kondisi fisiknya sangat kurus seperti tengkorak.
Penghuni pantisosialjuga tidak diperkenankan memiliki dan menyimpan barang pribadi. Hampir semua penghuni panti sosial yang kami kunjungi tidak diperkenankan untuk memiliki barang pribadi. Penghuni dipaksa untuk hanya menggunakan barang-barang yang dipinjamkan oleh pengelola panti, termasuk baju, sandal, hingga alat mandi. Hal ini bertentangan dengan salah satu prinsip Hak Asasi manusia (HAM)seperti yang tercantum dalam Pasal 17Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki harta.
Para penghuni pun tidak luput dari kekerasan baik fisik maupun verbal yang merendahkan harkat martabat manusia dalam kesehariannya. Di sebagian panti, baik laki-lakimaupunperempuan tidak hanya dikurung,tetapi juga dipasung dengan cara mengikat tangan, kaki, atau keduanya dengan menggunakan rantai besi. Ada tiga panti di Jawa Tengah yang kami kunjungi, hampir seluruh penghuninya dirantaisehingga mereka harus melakukan semua aktivitas di tempat yang sama mulai dari tidur, makan dan minum. Bila beruntung, mereka dizjinkan untuk buang air di kamar kecil. Namun cukup banyak yang buang air ditempat. Di beberapa panti yang dikunjugi, penghuni yang dirantai tidur disebelah kotoran mereka.
Kekerasan lainnya, yaitu penggundulanterhadap penghunilaki-laki maupun perempuan. Penggundulan ini kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan orang yang digunduli. Meskipun tindakan itu tujuannya baik untuk menghilangkan kutu rambut atau borok di kepala, akan tetapikarena tidak ada persetujuan,akan merendahkan atau menghina harga diri khususnya PDM perempuan.
Para penghuni juga dihadapkan pada fenomena lain, yaitu mandi di tempat terbukaantara laki-laki dan perempuan. Dalam kunjungan ke sebuah panti, kami menemukan penghuni perempuan yang mandi di tempat terbuka sementara petugas laki-laki lalu-lalang. bahkan ada pula panti dimana penghuni perempuan dimandikan oleh petugas laki-laki.Tentunya hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya kekerasan seksual yang dialami oleh penghuni perempuan.
Berdasarkan hasil observasi kami di salah satu panti sosialdi Bekasi, adaseorang penghuni perempuan yang mengaku bahwa payudaranya dipegang-pegang oleh petugas panti. Ia merasa ketakutan dan tidak bisa melaporkan hal ini ke siapa-siapa karena ia masih harus tinggal di panti tersebut. Kejadian tersebut tidak hanya terjadi pada dia sendiri, namun beberapa penghuni perempuan lainyangmengalami hal sama. Pelakunya adalah orang yang selama ini memberikan layanan kesehatan walaupun Ia bukan health worker. Pelecehan seksual ini terjadi di ruangan klinik kesehatan. Akibatnya PDM perempuan tidak berani datang ke klinik sekalipun sedang mengalami sakit.
Fenomena kekerasan fisik sampai seksual menunjukan bagaimana negara belum memberikan perlindungan hukum yang optimal terhadap PDM. Negara justru melakukan pembiaran dengan mengizinkan pihak swasta untuk mendirikan panti-panti sosial. Negara berperan sebagai pemberi legalitas izin pendirian(Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia)dan izin operasional(Dinas Sosial)panti-panti sosial di Indonesia.
Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas atau Convention on The Rights of Persons with Disabilities(CRPD) yang kemudian diratifikasi dan diundangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomer19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Pasal 15 CRPD secara tegas menentang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Kemudian pada Pasal 19 menjelaskan klausul kewajiban negara untuk mengeluarkan PDM khususnya perempuan dari panti sosialdan mengembalikan hak-hakmereka untuk hidup secara mandiri dan dilibatkan di dalam masyarakat dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki oleh negara.
Paragraf 30 Komentar Umum CPRD Nomor 5 tentang penjelasan Pasal 19 mewajibkanbahwa layanannegara kepada PDM harus inklusif di dalam masyarakat dan tidak diperbolehkan memberikan pelayanan dalam bentuk panti sosial dan rumah sakit jiwa (institusi) yang mensegregasi dan membatasi otonomi individu. Kemudian pada paragraf 51 memandatkan bahwa state parties should ensure that public or provate funds are not spent on maintaining, renovating, establishing building or creating any form of institution or institutionalization.Selain itu negara juga harus memastikan tidak ada pendirian panti sosial baru oleh sektor swasta.
Oleh karena itru, Kami merasa perlu untukmeluruskan persepsi masyarakat yang keliruterkait panti sosial sebagai tempat terbaik untuk rehabilitasi sosial, dan terus melakukan advokasipenghentian praktik-praktik kekerasan dan tindakan yang tidak manusiawi yang banyak dialami oleh PDMdi panti sosial.
REFERENSI
Human Rights Watch. Hidup di Neraka, Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia (Versi Bahasa Indonesia), Human Rights Watch, USA: 2016.
Mochammad Felkani B dan Isneningtyas Yulianti, HAM Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Sosial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: 2018.
Syahbuddin Latief, Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia,Lapera PustakaUtama, Yogyakarta: 1999, hlm. 40.
Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychososial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.