Advokasi kita - Pemilu

Beberapa Pertimbangan yang Harus Diperhatikan ketika Penyandang Disabilitas Mental berhadapan Dengan Hukum

Beberapa Pertimbangan yang Harus Diperhatikan ketika Penyandang Disabilitas Mental berhadapan Dengan Hukum

Pada Jumat (28-05), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menyelenggarakan training of trainers (ToT) bagi tenaga pendidik Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pelatihan tersebut mengusung tema mengenai peradilan yang fair (fair trial) bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Pelatihan dengan tema yang sama diselenggarakan kembali dengan sasaran peserta yang berbeda pada dua minggu selanjutnya. Kamis (10-06) lalu, peserta pelatihan adalah tenaga pendidik Badiklat Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Keduanya diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Rangkaian acara ini turut mengundang beberapa aktivis disabilitas menjadi narasumber, salah satunya Yeni Rosa Damayanti selaku ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.

 

Pada kesempatan tersebut, Yeni memaparkan beberapa hal yang harus menjadi perhatian ketika penyandang disabilitas mental berhadapan dengan hukum. Stigma yang masih sangat kuat, bila dibandingkan dengan ragam disabilitas lainnya, sangat memungkinkan masyarakat dan aparat penegak hukum bias dalam memahami kasus. Selain itu, dipisahkannya penyandang disabilitas dari lingkungan sosialnya membuat masyarakat jarang berinteraksi dengan mereka dan berdampak pada stigma yang semakin menguat. Hal ini tentu saja berkaitan dengan dukungan yang masih sangat minim bagi mereka, terutama dari negara. Oleh sebab itu, untuk memberikan pemahaman awal dan dasar, Yeni menjelaskan beberapa gambaran umum mengenai penyandang disabiltas mental.

 

Menurut UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dengan demikian, Yeni menggarisbawahi, bahwa ada dua aspek kunci yang harus diperhatikan dalam pengertian ini, yakni berjangka waktu lama dan mengalami hambatan atau kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif. Beberapa gangguan kesehatan mental yang dapat diidentifikasi berdasarkan dua aspek ini di antaranya adalah skizofrenia, depresi, gangguan kecemasan, dan bipolar.

 

Berdasarkan gejala dan karakteristik umumnya, tiap gangguan kesehatan mental memiliki ciri khas masing-masing dan seringkali bersifat unik antar individu. Maka dari itu perlu untuk mempelajari gejala dan karakteristik ini dalam memahami kasus atau perkara hukum yang melibatkan mereka. Yeni menekankan pentingnya keterangan ahli untuk membantu jaksa dan hakim mengambil keputusan, sebab tanpa hal ini hampir sulit dipastikan hasil pengadilan tidak melanggar hak-hak dasar para penyandang disabilitas mental. Berdasarkan buku konsesus penatalaksanaan gangguan skizofrenia (PDSKJI, 2011), gangguan jiwa dapat diklasifikasikan pada tiga fase yaitu: fase akut, fase stabilisasi, dan fase pemeliharaan. Masing-masing fase tentu memiliki tata laksana dan penanganan yang berbeda-beda. Pada fase pemeliharaan, misalnya, penyandang disabilitas mental diharapkan telah mampu secara aktif melakukan kehidupan sosialnya. Mengingat gangguannya yang bersifat episodik ini, maka sudah selayaknya mereka mendapatkan penanganan yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik gangguan, tingkatan, dan juga fasenya.

 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, salah satu isu diskriminasi di bidang hukum yang marak dialami oleh penyandang disabilitas mental adalah mengenai pengampuan (perwalian). Penyandang disabilitas mental dan intelektual (kognitif) lebih banyak mengalami penolakan kapasitas hukum dan berimplikasi pada pelanggaran hak mereka. Praktik penghapusan hak-hak seseorang melalui pengampuan penuh dapat dikatakan sebagai kematian perdata, di mana seseorang tidak bisa melaksanakan hak-hak sipil mereka. Putusan pengampuan penuh umumnya menimbulkan pelanggaran hak menjadi menyeluruh dan relatif permanen. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabiltias (CRPD). Salah satu latar belakang fenomena ini adalah anggapan yang keliru, tetapi sudah lama mengakar secara kultural, bahwa penyandang disabilitas mental secara otomatis kehilangan kapasitas hukumnya sehingga harus ditempatkan di bawah pengawasan keluarga (perwalian informal). Pengampuan informal ditandai dengan tidak adanya persetujuan (inform consent) dari penyandang disabilitas atas keputusan yang diambil atas dirinya. Ada pula praktik perwalian formal yang didapt dari hasil putusan pengadilan. Hal ini terjadi karena hukum pengampuan di Indonesia juga masih menggunakan definisi yang kabur mengenai disabilitas mental, seperti "... keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap" yang tertulis pada Pasal 433 KUH Perdata. Definisi yang kabur ini sesungguhnya telah mengakui keadaan episodik dari kondisi penyandang disabilitas mental, namun pasal ini tidak mempertimbangkan sama sekali aspek episodik dari penyandang disabilitas, melainkan menyaamaratakan saja, dengan penggunaan frasa: “sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.” Pengampuan semacam ini sering dikategorikan sebagai hukum berbasis status (status based) karena disabilitas seseorang dianggap menjadi dasar penghapusan kapasitas hukumnya. 

 

Menanggapi hal ini, peserta pelatihan merespons dengan berbagai tanggapan. Mereka sepakat bahwa perlu suatu peraturan yang mengikat bahwa asesmen terhadap disabilitas bagi siapa saja yang berhadapan dengan hukum itu diperlukan, termasuk bagi penyandang disabilitas mental yang menjadi saksi, korban, maupun tersangka dalam rangkaian proses pidana. Hal ini berguna untuk menjadi acuan hakim maupun jaksa untuk meminta pertimbangan dan keterangan ahli semacam apa dan sejauh apa yang ia butuhkan untuk menetapkan keputusan. Selain itu, perlu juga menjadi suatu catatan bahwa pendidikan dasar mengenai disabilitas bagi penegak hukum harus mulai dilakukan secara masif. Hal ini perlu berjalan beriringan dengan agenda reformasi hukum yang adil dan berpihak pada penyandang disabilitas.

 

 

Vaksinasi Covid-19 Mulai Diberikan bagi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia

Vaksinasi Covid-19 Mulai Diberikan bagi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia

 

"Ini pertama kali kita memberikan vaksin khusus ke Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODGJ umumnya memiliki komorbid banyak, karena mereka tidak bisa menceritakan dengan terbuka apa yang mereka rasakan. Oleh karena itu, saya bagus bila mulai memberikan prioritas kepada orang dengan gangguan jiwa," kata Budi Gunadi Sadikin, menteri kesehatan. Senin (07-06) lalu, akun media sosial Kementerian Kesehatan mengumumkan rancangannya melakukan vaksinasi bagi penyandang disabilitas. Hal ini dilakukan berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. HK.02.01/MENKES/598/2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Covid-19 bagi Masyarakat Lanjut Usia, Penyandang Disabilitas, serta Pendidik, dan Tenaga Kesehatan. Dalam unggahan tersebut tertulis bahwa vaksinasi dilakukan secara serentak mulai tanggal 1 Juni 2021 dan telah menyasar 562.242 penyandang disabilitas, termasuk mental, di seluruh wilayah Indonesia. Menurut paparan tersebut, penyandang dapat dilayani di seluruh fasilitas kesehatan/sentra vaksinasi manapun dan tidak terbatas pada alamat domisili KTP.

 

Menanggapi surat edaran menteri tersebut, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat yang ditujukan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalamnya, dipastikan bahwa vaksinasi Covid-19 bagi penyandang disabilitas, termasuk disabiblitas mental, termasuk dalam daftar penerima vaksin. Dalam lampiran, diperkirakan sekitar 562.242 dari 488.246 penyadang disabilitas menjadi target penerima vaksin.

 

Sebelumnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) pernah melakukan beberapa kali audiensi dengan berbagai pihak. Salah satu tujuannya secara khusus adalah mendorong pemerintah untuk melakukan vaksinasi bagi penyandang disabilitas mental yang ada di panti-panti sosial. Sebab, kerentanan mereka untuk terpapar virus cukup tinggi mengingat isu kelebihan kapasitas dan sanitasi yang kerap menjadi permasalahan utama dalam panti. Selain itu, di berbagai negara, penghuni panti sosial termasuk daftar prioritas penerima vaksin selain lansia dan tenaga kesehatan. Oleh sebab itu penting bagi Indonesia untuk memberlakukan kebijakan yang sama, mengingat kerentanan mereka yang tinggi. Secara umum, dalam beberapa kali kegiatan, PJS juga mendorong pemerintah untuk memasukkan penyandang disabiltias sebagai daftar penerima vaksin. Salah satu pertimbangannya karena penyandang disabilitas biasanya juga memiliki komorbid, sehingga perlu dipertimbangkan untuk menjadi kelompok prioritas.

Akreditasi LKS: Tujuan, Proses, dan Pendataan

Akreditasi LKS; Tujuan, Proses, dan Pendataan

 

 

Hari Selasa (16-03), Perhimpunan Jiwa Sehat melakukan audiensi secara daring dengan Pusat Pengembangan Profesi Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial Kementerian Sosial RI (P4S). Dalam kesempartan itu, turut hadir Ketua P4S, Tati Nugrahati Sukaptina, beserta jajaran dari Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial.

 

Pelaksanaan akreditasi sudah diamanatkan oleh UU No. 11/2009 tetang Kesejahteraan Sosial. Akreditasi dilakukan kepada setiap Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS). Lantas, kenapa LKS atau panti harus diakreditasi? Wildan Humaedi menjelaskan bahwa akreditasi bertujuan untuk menjaga agar proses pelayanan kesejahteraan sosial diberikan secara baik dan berkualitas (menjaga masyarakat dari pelayanan yang tidak baik oleh LKS). “Banyak sekali masyarakat yang mendirikan LKS dengan berbagai motif atau tujuan. Ada panti atau LKS sebagai tempat yang berbisnis atau menerima bantuan. Ada juga LKS yang menghimpun tenaga kerja yang illegal, jadi LKS wajib diakreditasi oleh Kementerian Sosial”, ujar Wildan.

 

Wildan mengibaratkan akreditasi LKS ini dengan akreditasi sekolah, tujuannya untuk memberikan bantuan upaya perlindungan kepada masyarakat dari perlakuan yang salah dari lembaga. Dari sejak awal masyarakat bisa tahu LKS terebut layak atau tidak berdasarkan informasi hasil akreditasinya.

 

Tati Nugrahati Sukaptina turut menambahkan, setiap LKS yang melakukan permohonan akreditasi itu harus memiliki dokumen legal standing atau izin operasional. Dengan kata lain, mereka harus memiliki profil lembaga, serta terdata dan mendapatkan rekomendasi dari dinas sosial domisili LKS. Ada 6 standar penilaian LKS yang digunakan assessor sebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM) penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diantaranya: Standar Program, Standar Sumber Daya Manusia, Standar Menejemen Organisasi, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pelayanan.

 

Para assessor terdiri dari akademisi (dosen), praktisi pekerjaan sosial, satuan bakti pekerjaan sosial (pendamping di lapangan) yang akan melakukan visitasi ke setiap LKS, tukas Feri. Hasil dari penilaiannya akan diplenokan untuk mennentukan hasil dan nilai akreditasinya. Ada tiga penilaian: A (masa berlaku 5 tahun), B (masa berlaku 3 tahun), dan C (kadaluarsa 2 tahun untuk reakreditasi). Untuk C tidak tertutup kemungkinan bisa naik ke B atau A.   “dari 2013 ada sekitar 10.004 LKS yang diakreditasi”, tukas Wildan.

 

“Ketika hasil penilaian LKS kemudian ditemukan tidak layak akreditasi, maka rekomendasi akan diteruskan ke unit layanan disabilitas di Kementerian Sosial, Forum LKS, dan Dinas Sosial beserta staf pekerja sosial domisili LKS untuk dibina. Belum ada aturan untuk menutup LKS tersebut”, tukas Feri.

 

Pada tahun 2025, pemerintah mewacanakan untuk menarget setiap LKS lulus akreditasi. "Jika tidak, maka LKS tersebut tidak akan memperoleh perpanjangan izin operasional dari dinas sosial," ujar Feri. Dalam Audiensi tersebut P4S dan PJS menjalin kesepakatan untuk menyusun instrumen penilaian akreditasi LKS berdasarkan ragam disabilitas. Sampai saat ini alat yang digunakan pemerintah untuk penilaian LKS disabilitas masih sama yaitu menggunakan instrumen disabilitas.

 

Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat

Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat

 

 

Sabtu (29-05) lalu, Perhimpunan Jiwa Sehat menyelenggarakan webinar dalam rangka memperingati Hari Skizofrenia. Webinar ini turut mengundang Mazidatun Maftukhah, SS, seorang mahasiswa S2 SGPP Indonesia sekaligus penyintas skizofrenia dan dr. Indraswari, SpKJ sebagai psikiater RSU Muntilan. Keduanya berpartisipasi sebagai narasumber. Dyah Indrapati. SPsi, MPP, seorang psikolog juga turut hadir dalam diskusi  sebagai moderator.

Dalam diskusi ini, Mazidatun berbagi mengenai pengalamannya sebagai seorang penyintas skizofrenia. Ia mengatakan bahwa kampus tempatnya menempuh pendidikan berperan banyak dalam mendukung pemenuhan kebutuhan belajarnya. Dalam beberapa kali kesempatan, Mazida memaparkan bahwa dirinya diperbolehkan rehat di tengah-tengah jam pembelajaran bila dirasa diperlukan. Ia juga pernah beberapa kali meminta penyesuaian seperti mendengarkan musik ketika ujian, istirahat di belakang kelas ketika kelelahan, dan lain-lain. Penyesuaian dan pemenuhan kebutuhan seperti ini penting bagi penyandang disabilitas mental untuk menunjang kenyamanannya dalam proses belajar. Dyah Indrapati menegaskan hal yang sama. Ia mengatakan bahwa dirinya juga sekelas dengan Mazida dan turut mengupayakan kondisi tersebut terpenuhi, sehingga teman-teman penyandang disabilitas mental seperti Mazida bisa tetap mengikuti pembelajaran dengan ritme dan kondisi yang bisa ia sesuaikan sendiri.

 

Praktik penyelenggaraan akomodasi yang layak khususnya kepada penyandang disabilitas mental ini masih relatif jarang diterapkan di institusi pendidikan. Padahal, ada beberapa kondisi yang dialami penyandang disabilitas yang perlu disesuaikan demi menciptakan lingkungan yang inklusif bagi mereka. Absennya modifikasi dan penyesuian yang perlu dan sesuai bagi peserta didik penyandang disabiltias sangat mungkin berdampak pada sulitnya mereka menjalani pendidikan yang setara seperti yang lainnya. Salah satu dampak yang paling mudah ditemukan adalah banyaknya penyandang disabilitas yang mengalami drop out karena dianggap tidak bisa menyelesaikan masa studinya secara tepat waktu, absen kelas dalam jangka waktu yang lama karena relaps,  dan banyak alasan lainnya yang sebenarnya berhubungan dengan disabilitasnya.

 

Dokter Indraswari juga menggarisbawahi, faktor pendukung dari lingkungan penyandang disabilitas mental sangat berpengaruh bagi perkembangan kondisi mereka. Dalam masa pemulihan, para penyandang disabilitas yang mendapat dukungan penuh dari keluarga, lingkaran pertemanan, juga termasuk lingkungan sosialnya dapat melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari sama seperti masyarakat umumnya. Dengan demikian penyelenggaraan akomodasi yang layak, termasuk di institusi pendidikan, sangat penting untuk dilakukan.

Evaluasi Penikmatan Hak Penyandang Disabilitas: Menuju Global Summit 2022

Evaluasi Penikmatan Hak Penyandang Disabilitas: Menuju Global Summit 2022

 

 

Menjelang Global Disability Summit (GDS) tahun2022, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dengan dukungan dari Aliansi Disabilitas Internasional (IDA)dan TCI Asia Pasifik mengadakan lokakarya bertajuk “Konsultasi National Menjelang Global Disability Summit”.

 

Kegiatan lokakarya tersebut diselenggarakan selama tiga hari (20 s.d. 22 Maret 2021), baik secara tatap muka maupun online. Difasilitasi oleh Yossa AP. Nainggolan, GIZ National Advisor for Person with Disability, acara ini melibatkan 52 peserta dari berbagai organisasi penyandang disabilitas dan lembaga mitra, termasuk 7 orang dari Kementerian/Lembaga Negara. Salah satu tujuan acara ini adalah pembangunan kapasitas jaringan untuk terlibat dalam Global Disability Summit, serta untuk mengevaluasi kemajuan komitmennegara terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

 

Pada hari pertama, para peserta berdiskusi mengenai pengalaman anak-anak dengan disabilitas, selama masa pandemi Covid-19. Permasalahan atau kesulitan yang terpetakan di antaranya adalah terkait keterlibatan orang tua atau wali yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai disabilitas dan kebutuhannya. Misalnya, orang tua atau wali peserta didik disabilitas netra yang tidak paham huruf braile. Begitu juga bagi para orang tua atau wali dari peserta didik disabilitas rungu (Tuli) yang tidak menguasai bahasa isyarat. Tentu hal ini akan menjadi salah satu tantangan bagi pendampingan orang tua selama masa belajar di rumah sepanjang pandemi Covid-19 ini.

 

Diskusi berlanjut dengan tema vaksinasi bagi penyandang disabilitas. Tema ini diangkat dengan latar belakang bahwa prioritas kebijakan vaksinasi pemerintah masih terbatas bagi Lansia, belum ditujukan secara prioritas bagi penyandang disabilitas. Dari seluruh peserta acara ini, hanya lima orang yang telah mendapatkan vaksinasi. Endah Susilawatidari, perwakilan HWDI Provinsi Jawa Tengah, berharap syarat pemberian vaksin bagi penyandang disabilitas tidak harus berdasarkan domisili KTP, mengingat sulitnya mobilitas ke tempat asal.

 

Hari kedua pelaksanaan lokakarya membahas isu perempuan disabilitas dan anak perempuan dengan disabilitas yang merupakan kelompok dengan kerentanan berlapis. Stigma sebagai perempuan yang ditambah dengan kondisi disabilitas menyebabkan mereka mengalami diskriminasi ganda. Perempuan dengan disabilitas rentan terhadap pelecehan, penganaiayaan, pemerkosaan, eksploitasi, termasuk kekerasan dalam pacaran, perkawinan, kasus perceraian dan lain sebagainya. Beberapa kasus yang diceritakan dalam acara tersebut adalah perempuan dengan disabiltias yang tidak mau dipasang alat kontrasepsi, maka tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Selain itu, menurut Yeni Rosa Damayanti, regulasi di negeri ini (UU Perkawinan) memberi celah bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya ketika ia mengalami disabilitas. Tentu saja hal ini melanggar hak-hak dasar mereka, bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia.

 

Diskusi lantas berlanjut pada pembangunan strategi dengan gerakan koalisi perempuan, yang selama ini belum terjalin dengan baik. “Ini menrupakan kesalahan kedua belah pihak. Kita jarang bergaul dengan mereka, dan mereka juga jarang mengundang kita. Oleh sebab itu, hal ini patut untuk segera dimulai,” tukas Yeni Rosa Damayanti.

 

 

Pada hari terakhir Jose Viera, Presiden World Blind Union, menyampaikan bahwa lokakarya ini merupakan starting point untuk menyatakan komitmen bersama dari pemerintah, swasta, dan lain sebagainya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua orang. Amba Salkelar, perwakilan dari IDA, juga menyampaikan bahwa GDS adalah proses belajar dan memberikan dukungan, dengan mekanisme akuntabilitas dan penjalinan kemitraan berfokus agar masing-masing negara bisa mencapai pemenuhan hak disabilitas.

 

Pesan Jose Viera dan Amba Salkelar tersebut mengisyaratkan bahwa mekanisme akuntabilitas yang terkandung didalamnya lebih merupakan komitmen negara, bukan hanya sebagai legally binding. Dengan kata lain, mereka mendorong komitmen negara sebagai aktor utama untu melakukan pemenuhan hak. Menurut Achsanul Habib, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri, akuntabilitas pemerintah memang seharusnya sejalan dengan 17 target SDGs, ini untuk memastikan komitmen pemerintah.

 

 

 

Social Media PJS