Advokasi kita - Pemilu

Fenomena Voter Supression Penyandang Disabilitas Psikososial

Fenomena Voter Supression Penyandang Disabilitas Psikososial

 

 

Gangguan terhadap hak memilih atau voter supression merupakan tema baru yang belum banyak diperbincangkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, namun isu ini sebenarnya sudah terjadi pada Pemilu 2019 lalu, misalnya dengan adanya diskriminasi penyandang disabilitas psikososial yang kesulitan menggunakan hak pilihnya.


Hal itu mengemuka pada acara seminar hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilihan dan Demokrasi (Perludem) yang berjudul “Gangguan terhadap Hak Memilih: Fenomena dan Upaya Penanggulangan.” 


Dari hasil kajian seperti yang disampaikan oleh peneliti Perludem, Mahardhika, bentuk gangguan hak memilih itu terkait dengan regulasi yang mewajibkan KTP elektronik sebagai syarat pendaftaran pemilih. Regulasi tersebut menyebabkan setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih tetapi belum memiliki KTP elektronik tidak dapat terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Proses perekaman KTP elekronik belum menjangkau seluruh masyarakat, terutama para penyandang disabilitas psikososial.


Selain faktor regulasi, dalam konteks Pemilu 2019, terjadi penyebaran informasi yang menyesatkan. Beredar luas postingan di media sosial, salah satunya cuitan akun Twitter yang menyerang hak pilih disabilitas psikososial. Pada tanggal 23 April 2019, juru kampanye salah satu pasangan calon tersebut mencuit, “Katanya org gila nyoblos ada 13juta. Trus ada video nya? Ada catatannya? Ada formulir C1 nya? Masa gak ada yg rekam? Mana 13 juta itu?. Kemudian cuitan lainnya, “Allah saja tak memberi kewajiban apa2 thd orang gila... anda malah waiibkan ikut nyoblos. Yg gila siapa ya? Mudah2an yg curang menjadi gila...” 


Hal itu dibenarkan oleh Ira Askarina dari Perhimpunan Jiwa Sehat dalam tanggapan pada diskusi hasil kajian Perludem tersebut:

 

“…masyarakat melihat “orang gila’, orang yang menggelandang di jalan yang aneh, tidak diurus, diganggu-ganggu, dikata-katain. Alih-alih dibantu malah diolol-olok. mereka gak bisa ngapa-ngapain, mana bisa ikut Pemilu, mana ngerti ikut Pemilu. Ini pandangan yang salah, mereka itu sama dengan kami, meerka itu sama dengan orang lain…perbedaannya dengan kita mereka itu tidak mendapatkan support dari keluarga dan lingkungan, bisa sekolah, bisa bekerja….Eddyansyah seorang PNS di Pemprov. DKI. Jakarta, masyarakat tidak melihat hal itu namun iihatnya orang-orang yang di jalan itu.


Menurut Ira Askarina, sebenarnya pada Pemilu 2014 tidak ada persoalan seperti ini, penyandang disabilitas psikososial sudah bisa ikut Pemilu sejak 2014, namun ketika Pemilu 2019 ini menjadi isu politik, ada kepentingan dari partai tertentu atau kubu tertentu untuk menyudutkan calonnya, dengan menuduh memobilisasi penyandang disabilitas psikososial dengan mengambil suara sebanyak-banyaknya dengan gambaran orang yang di jalanan. Oleh karena itu, beliau merekomendaiskan harus ada regulasi terkait pengaturan sosial media mengenai hal-hal yang boleh diizinkan untuk ditayangkan.


Dalam hasil kajian itu pun terungkap bahwa pelintiran kebencian terhadap penyandang disabilitas psikososial juga memengaruhi penyelenggara Pemilu yang tidak memiliki pemahaman cukup baik terkait hak pilih disabilitas psikososial. Terlebih pelatihan yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kepada KPUD dan Bawaslu daerah belum memasukan materi disabilitas psikososial. “Biasanya sebelum Pemilu ada pelatihan dari KPU dan Bawaslu kepada KPU di daerah dan Bawaslu daerah terkait penyandang disabilitas, namun materinya belum men-cover isu disabilitas mental. Dengan tidak adanya pemahaman ini maka penyelenggara di daerah tidak tahu bahwa penyandang disabilitas mental mempunyai hak memilih”, tukas Ira Askaraina. 


Menurut Ilham Saputra, komisioner KPU. di beberapa daerah sudah ada pelatihan terkait materi penyelenggaraan Pemilu untuk penyandang disabilitas, dan KPUD diberikan improvisasi dalam menyelenggarakan Pemilihan, seperti yang terjadi di Kota Surakarta, seperti disampaikan Kajad Pamuji Joko Waskito, KPUD Kota Surakarta memepersilahkan 48 penghuni salah satu rumah sakit jwa untuk berpartisipasi dalam pemilihan walikota Surakarta lalu. Ada 48 orang yang berpartisipasi. KPUD menfasilitasi menyediakan Tempat Pemungutan Suara berdasarkan persetujuan pihak rumah sakit jiwa.


Dalam closing statement-nya, Ilham Saputra mengharapkan ada dukungan juga dari Perhimpunan Jiwa Sehat dan organisasi lain dalam menindaklanjuti hasil rekomendasi dari kajian Perludem berkaitan dengan syarat membawa surat keterangan sehat bagi pemilih dengan kondisi disabilitas psikososial. Pada Pemilu 2019 lalu ketika akan menggunakan hak pilihnya penyandang disabilitas psikososial diwajibkan membawa surat rekomendasi atau keterangan dari dokter atau keluarga. Surat tersebut harus menyatakan bahwa mereka sedang dalam kondisi sehat. “Kita masih punya waktu sampai 2024, nah dalam beberapa bulan kedepan kita bisa siapkan dengan efektif dan efisien agar dari hasil kajian Perludem ini bisa digunakan oleh KPU dan Bawaslu untuk upaya pencegahan terhadap hal-hal yang menjadi gangguan dalam memilih”, tukas Ilham Saputra.


Sementara itu, Ira Askarina dalam closing statement-nya berharap hasil kajian Perludem ini bisa disebar ke sebnayak mungkin pembaca agar mereka tahu tentang fenomena penyandang disabilitas psikososial baik di panti maupun luar panti khususnya dalam hak memilih. dan pada Pemilu 2024 ini menjadi Pemilu yang damai.

 

Social Media PJS