Advokasi kita - Perlindungan Sosial
Akreditasi LKS: Tujuan, Proses, dan Pendataan
Akreditasi LKS; Tujuan, Proses, dan Pendataan

Hari Selasa (16-03), Perhimpunan Jiwa Sehat melakukan audiensi secara daring dengan Pusat Pengembangan Profesi Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial Kementerian Sosial RI (P4S). Dalam kesempartan itu, turut hadir Ketua P4S, Tati Nugrahati Sukaptina, beserta jajaran dari Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial.
Pelaksanaan akreditasi sudah diamanatkan oleh UU No. 11/2009 tetang Kesejahteraan Sosial. Akreditasi dilakukan kepada setiap Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS). Lantas, kenapa LKS atau panti harus diakreditasi? Wildan Humaedi menjelaskan bahwa akreditasi bertujuan untuk menjaga agar proses pelayanan kesejahteraan sosial diberikan secara baik dan berkualitas (menjaga masyarakat dari pelayanan yang tidak baik oleh LKS). “Banyak sekali masyarakat yang mendirikan LKS dengan berbagai motif atau tujuan. Ada panti atau LKS sebagai tempat yang berbisnis atau menerima bantuan. Ada juga LKS yang menghimpun tenaga kerja yang illegal, jadi LKS wajib diakreditasi oleh Kementerian Sosial”, ujar Wildan.
Wildan mengibaratkan akreditasi LKS ini dengan akreditasi sekolah, tujuannya untuk memberikan bantuan upaya perlindungan kepada masyarakat dari perlakuan yang salah dari lembaga. Dari sejak awal masyarakat bisa tahu LKS terebut layak atau tidak berdasarkan informasi hasil akreditasinya.
Tati Nugrahati Sukaptina turut menambahkan, setiap LKS yang melakukan permohonan akreditasi itu harus memiliki dokumen legal standing atau izin operasional. Dengan kata lain, mereka harus memiliki profil lembaga, serta terdata dan mendapatkan rekomendasi dari dinas sosial domisili LKS. Ada 6 standar penilaian LKS yang digunakan assessor sebagai Standar Pelayanan Minimal (SPM) penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diantaranya: Standar Program, Standar Sumber Daya Manusia, Standar Menejemen Organisasi, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pelayanan.
Para assessor terdiri dari akademisi (dosen), praktisi pekerjaan sosial, satuan bakti pekerjaan sosial (pendamping di lapangan) yang akan melakukan visitasi ke setiap LKS, tukas Feri. Hasil dari penilaiannya akan diplenokan untuk mennentukan hasil dan nilai akreditasinya. Ada tiga penilaian: A (masa berlaku 5 tahun), B (masa berlaku 3 tahun), dan C (kadaluarsa 2 tahun untuk reakreditasi). Untuk C tidak tertutup kemungkinan bisa naik ke B atau A. “dari 2013 ada sekitar 10.004 LKS yang diakreditasi”, tukas Wildan.
“Ketika hasil penilaian LKS kemudian ditemukan tidak layak akreditasi, maka rekomendasi akan diteruskan ke unit layanan disabilitas di Kementerian Sosial, Forum LKS, dan Dinas Sosial beserta staf pekerja sosial domisili LKS untuk dibina. Belum ada aturan untuk menutup LKS tersebut”, tukas Feri.
Pada tahun 2025, pemerintah mewacanakan untuk menarget setiap LKS lulus akreditasi. "Jika tidak, maka LKS tersebut tidak akan memperoleh perpanjangan izin operasional dari dinas sosial," ujar Feri. Dalam Audiensi tersebut P4S dan PJS menjalin kesepakatan untuk menyusun instrumen penilaian akreditasi LKS berdasarkan ragam disabilitas. Sampai saat ini alat yang digunakan pemerintah untuk penilaian LKS disabilitas masih sama yaitu menggunakan instrumen disabilitas.
Evaluasi Penikmatan Hak Penyandang Disabilitas: Menuju Global Summit 2022
Evaluasi Penikmatan Hak Penyandang Disabilitas: Menuju Global Summit 2022
Menjelang Global Disability Summit (GDS) tahun2022, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dengan dukungan dari Aliansi Disabilitas Internasional (IDA)dan TCI Asia Pasifik mengadakan lokakarya bertajuk “Konsultasi National Menjelang Global Disability Summit”.
Kegiatan lokakarya tersebut diselenggarakan selama tiga hari (20 s.d. 22 Maret 2021), baik secara tatap muka maupun online. Difasilitasi oleh Yossa AP. Nainggolan, GIZ National Advisor for Person with Disability, acara ini melibatkan 52 peserta dari berbagai organisasi penyandang disabilitas dan lembaga mitra, termasuk 7 orang dari Kementerian/Lembaga Negara. Salah satu tujuan acara ini adalah pembangunan kapasitas jaringan untuk terlibat dalam Global Disability Summit, serta untuk mengevaluasi kemajuan komitmennegara terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Pada hari pertama, para peserta berdiskusi mengenai pengalaman anak-anak dengan disabilitas, selama masa pandemi Covid-19. Permasalahan atau kesulitan yang terpetakan di antaranya adalah terkait keterlibatan orang tua atau wali yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai disabilitas dan kebutuhannya. Misalnya, orang tua atau wali peserta didik disabilitas netra yang tidak paham huruf braile. Begitu juga bagi para orang tua atau wali dari peserta didik disabilitas rungu (Tuli) yang tidak menguasai bahasa isyarat. Tentu hal ini akan menjadi salah satu tantangan bagi pendampingan orang tua selama masa belajar di rumah sepanjang pandemi Covid-19 ini.
Diskusi berlanjut dengan tema vaksinasi bagi penyandang disabilitas. Tema ini diangkat dengan latar belakang bahwa prioritas kebijakan vaksinasi pemerintah masih terbatas bagi Lansia, belum ditujukan secara prioritas bagi penyandang disabilitas. Dari seluruh peserta acara ini, hanya lima orang yang telah mendapatkan vaksinasi. Endah Susilawatidari, perwakilan HWDI Provinsi Jawa Tengah, berharap syarat pemberian vaksin bagi penyandang disabilitas tidak harus berdasarkan domisili KTP, mengingat sulitnya mobilitas ke tempat asal.
Hari kedua pelaksanaan lokakarya membahas isu perempuan disabilitas dan anak perempuan dengan disabilitas yang merupakan kelompok dengan kerentanan berlapis. Stigma sebagai perempuan yang ditambah dengan kondisi disabilitas menyebabkan mereka mengalami diskriminasi ganda. Perempuan dengan disabilitas rentan terhadap pelecehan, penganaiayaan, pemerkosaan, eksploitasi, termasuk kekerasan dalam pacaran, perkawinan, kasus perceraian dan lain sebagainya. Beberapa kasus yang diceritakan dalam acara tersebut adalah perempuan dengan disabiltias yang tidak mau dipasang alat kontrasepsi, maka tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah. Selain itu, menurut Yeni Rosa Damayanti, regulasi di negeri ini (UU Perkawinan) memberi celah bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya ketika ia mengalami disabilitas. Tentu saja hal ini melanggar hak-hak dasar mereka, bahkan tidak menganggap mereka sebagai manusia.
Diskusi lantas berlanjut pada pembangunan strategi dengan gerakan koalisi perempuan, yang selama ini belum terjalin dengan baik. “Ini menrupakan kesalahan kedua belah pihak. Kita jarang bergaul dengan mereka, dan mereka juga jarang mengundang kita. Oleh sebab itu, hal ini patut untuk segera dimulai,” tukas Yeni Rosa Damayanti.
Pada hari terakhir Jose Viera, Presiden World Blind Union, menyampaikan bahwa lokakarya ini merupakan starting point untuk menyatakan komitmen bersama dari pemerintah, swasta, dan lain sebagainya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua orang. Amba Salkelar, perwakilan dari IDA, juga menyampaikan bahwa GDS adalah proses belajar dan memberikan dukungan, dengan mekanisme akuntabilitas dan penjalinan kemitraan berfokus agar masing-masing negara bisa mencapai pemenuhan hak disabilitas.
Pesan Jose Viera dan Amba Salkelar tersebut mengisyaratkan bahwa mekanisme akuntabilitas yang terkandung didalamnya lebih merupakan komitmen negara, bukan hanya sebagai legally binding. Dengan kata lain, mereka mendorong komitmen negara sebagai aktor utama untu melakukan pemenuhan hak. Menurut Achsanul Habib, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri, akuntabilitas pemerintah memang seharusnya sejalan dengan 17 target SDGs, ini untuk memastikan komitmen pemerintah.
Dorong Terbentuknya Pokja Panti

Dorong Terbentuknya Pokja Panti
Peringati Hari Perempuan dengan Berdiskusi mengenai Perempuan Penghuni Panti Sosial
Peringati Hari Perempuan dengan Berdiskusi mengenai Perempuan Penghuni Panti Sosial
Pada Senin (15-03), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) bersama Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2, menyelenggarakan diskusi bertajuk "Perempuan-Perempuan Penghuni Panti Sosial". Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia, yakni setiap tanggal 8 Maret. Melalui kanal Zoom Meeting, beberapa pembicara yang turut hadir dalam diskusi ini adalah Gung Putri Astrid, staf khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPPA), Mike Verawai Tangka, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia, dan Yeni Rosa Damayani selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat. Selain itu, Theresia Sri Endras Iswarini selaku Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan turut hadir sebagai penanggap. Diskusi ini juga dipandu oleh Veni Siregar, koordinator Sekreatariat Nasional FPL.
Sebagian besar perempuan penyandang disabilitas mental di negeri ini hidup di panti-panti sosial. Di sana, tidak ada yang bisa menjamin kelayakan hidup mereka. Berbagai macam penyiksaan terjadi di tempat-tempat tertutup seperti itu. Yeni Rosa Damayanti memaparkan, menurut data yang berusaha dihimpun oleh PJS, jumlah perempuan penyandang disabilitas mental yang tinggal di panti sekitar 5000 orang, dan besar kemungkinan bahwa realitanya lebih dari itu. Mereka dipaksa masuk tanpa persetujuan apapun, dan tidak pernah tahu bagaimana dan kapan mereka bisa keluar. Padahal, seharusnya, semenjak Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), praktik semacam ini seharusnya mulai diberantas. Dalam Pasal 14 CRPD disebutkan bahwa tidak boleh siapapun dirampas haknya karena disabilitas, termasuk kesehatan mentalnya.
Yeni mengidentifikasi beberapa masalah yang menyebabkan masih banyaknya perempuan penyandang disabilitas mental yang tinggal di panti. Faktor pertama berasal dari keluarga dan masyarakat, di mana stigma berkembang dengan begitu kuat sehingga muncul asumsi umum yang berpandangan bahwa penyandang disabilitas mental sudah tidak memiliki harapan lagi, dengan demikian panti adalah satu-satunya solusi praktis yang masuk akal. Yang kedua, dalam konteks masyarakat kita pada umumnya, tidak banyak yang memiliki pengetahuan yang memadai bahwa penyandang disabilitas mental bisa beraktivitas seperti yang lainnya. Ketiadaan dukungan seperti anggaran dan perawatan untuk menangani mereka justru memperparah kondisi. Lebih jauh, individu penyandang disabilitas mental sendiri (apalagi perempuan) dianggap tidak memiliki kapasitas hukum. Selain itu, karena berbagai macam upaya diskriminasi yang menempatkan mereka sebagai kelompok marjinal, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, tidak memiliki sistem pendukung, hingga tidak memiliki tempat tinggal. Hal ini sangat berpotensi memperkuat stigma sehingga faktor satu pun juga semakin kuat. Ketiga, stigma dan diskriminasi ini tidak kunjung direspons oleh negara dan justru berpotensi untuk "menciptakan" peluang terjadinya penyiksaan di dalam panti. Misalnya seperti ketiadaan informasi, perawatan, dan keuangan bagi keluarga, tidak ada pemberian perumahan sosial yang terjangkau bagi penyandang disabilitas, hingga pada akhirnya tidak menjamin kapasitas hukum mereka secara setara seperti masyarakat umumnya. Ketiga faktor ini menjadi pemicu yang kuat seorang perempuan penyandang disabilitas mental ditempatkan di panti-panti sosial.
Mempertimbangkan kondisi itu, salah satu solusi yang bisa diupayakan saat ini adalah dengan mengubah panti sosial menjadi mekanisme yang lebih terbuka seperti rehabilitasi berbasis masyarakat; selain itu juga bisa mulai mengadvokasikan dukungan tempat tinggal dan jaminan kapasitas hukum bagi penyandang disabilitas. Agenda ini tentu saja sangat berguna demi menciptakan lingkungan hidup yang lebih inklusif bagi semua orang. Untuk mewujudkan itu, perlu dukungan dan perhatian dari semua pihak.
Mike Verawati Tangka menyetujui hal tersebut. Ia turut memaparkan, selain penyandang disabilitas, banyak perempuan yang tinggal di panti-panti sosial dengan beragam latar belakang. Beberapa panti itu di antaranya adalah panti untuk 'tuna sosial' atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Panti untuk Orang dengan HIV AIDS (ODHA), dan panti anak (terutama anak jalanan). Mereka turut menghadapi realita yang sama sulitnya, yakni overstay, tidak terpenuhinya hak-hak dasar, hingga berbagai pengalaman kekerasan.
Staf khusus KemenPPPA, Agung Putri Astrid berpendapat bahwa kemungkinan besar hal ini bisa terjadi karena, yang pertama, adalah ketidaktahuan petugas mengenai penanganan yang baik bagi hunian panti sosial. Menurutnya, hal ini perlu dikampanyekan supaya tidak ada lagi perampasan hak-hak terhadap penghuni panti, termasuk para perempuan yang ada di sana. Ia menjelaskan bahwa saat ini sedang ada proses perumusan UU Pekerja Sosial, di mana salah satu yang diatur di dalamnya adalah mengenai persyaratan keahlian dan perspektif dalam mendampingi dan menangani para penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. "Saya mendorong generasi muda untuk menjadi pekerja sosial, karena penting untuk menjamin ketersediaan sumber daya untuk melayani mereka yang membutuhkan pendampingan," ujar perempuan yang akrab dengan sapaan Gung Tri itu.
Gagasan serupa juga dikemukakan oleh Theresia Sri Endras Iswarini. Ia menjelaskan bahwa kontribusi masyarakat sipil perlu untuk melakukan pembaruan pendataan di panti dan tempat-tempat rehabilitasi lainnya. Gerakan HAM dan perempuan harus mulai menaruh perhatian pada isu ini dan bersama-sama mengadvokasikan perbaikannya.
Tantangan Pilkada Bagi Penyandang Disabilitas di Era Covid 19

Tantangan Pilkada Bagi Penyandang Disabilitas di Era Covid 19
Belum ada pendidikan pemilih di panti-panti. Padahal untuk Penyandang Disabilitas Mental (PDM) mendapatkan akses informasi mengenai pilkada merupakan hal yang sulit, karena PDM tidak memiliki akses terhadap handphone maupun media massa,” ujar Yeni Rossa Damayanti Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat. KPUD dapat memfasilitasi dan memberikan video penjelasan informatif dan simple untuk disebarkan ke panti serta mewajibkan kepada ketua panti untuk memutar informasi pilkada di pantinya masing-masing. Hal itu mengemuka dalam webinar yang diselenggarakan oleh Perludem yang berjudul “Penyelenggaraan Pilkada di Tahun 2020 akan diselenggarakan di tengah situasi Pandemi,” Kamis 22/20/20.
Ia melanjutkan, PDM memiliki hak politik yang sama dalam Pilkada. Meski demikian, Pilkada di masa pandemic ini memiliki tantangan tersendiri, lebih lagi PDM yang berada di Panti. Beberapa kendala bagi PDM yakni banyak PDM yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan), kesulitan mengurus surat izin pindah memilih dan beberapa panti menolak mendaftarkan PDM menjadi pemilih.
Lebih lagi saat pandemic, Organisasi Penyandang Disabilitas mengalami kesulitan dalam melakukan pemantauan. Karenanya, Yeni Rosa mengatakan solusi dalam menghadapi persoalan tersebut yakni dengan mendorong KPU untuk membuat surat edaran kepada KPUD untuk mendorong adanya pendaftaran bagi PDM, KPU berkolaborasi dengan Dukcapil agar PDM yang tidak memiliki NIK dapat terfasilitasi dan KPUD maupun Bawaslu menjadi ujung tombak untuk penyebaran informasi terkait pendidikan politik Pilkada serta membuat TPS di panti
Ariani Soekanwo, Koordinator PPUA menyoroti mengenai simulasi yang pernah dilakukan terkait TPS untuk lebih aksesible lgi untuk penyandang disabilitas. Ia menambahkan tempat TPS sebaiknya berada dilapangan yang tidak berbatu dan berumput, karena akan menyulitkan penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda.
“Untuk disabilitas tuli membutuhkan bahasa isyarat dan tulisan sehingga bisa aksesible bagi disabilitas tuli dan diperbolehkan membawa hp untuk komunikasi,” lanjutnya. Penggunaan sarung tangan dan masker membuat kesulitan penyandang disabilitas dalam membaca huruf braile bagi netra dan tuli sulit membaca gerak bibir petugas jika menggunakan masker.
Selain itu dalam DPT dituliskan istilah normal dan disabilitas, ia menyarankan istilah tersebut kurang tepat karena sebaiknya tertuang non disabilitas dan disabilitas. Lebih jauh, Ariani menyatakan pentingnya mendorong isu penyandang disabilitas dapat muncul dan PPUA maupun OPD menjadi tim perumus dalam debat calon Pilkada.
Disisi lain, Khoirunnisa Agustyati dari Perludem menyatakan bahwa persoalan pandemic membuat tantangan menjadi 2 kali lebih berat, khususnya dengan isu-isu terhadap perempuan maupun kelompok rentan. “Pilkada dalam situasi pandemic tidak mudah. Tetapi prinsip inklusifitas dan keadilan itu tetap dijalankan,” jelasnya. Meskipun Ninis, panggilan akrabnya menekankan partisipasi politik mengingat situasi pandemic menjadi perhatian masyarakat.
Menanggapi masukan dan rekomendasi dari Perludem, PPUA dan Perhimpunan Jiwa Sehat, Ilham Syahputra Plh. Ketua KPU RI menyambut baik usulan dan masukan dari narasumber tersebut. Ia menyatakan bahwa KPU RI telah menyiapkan regulasi terkait dengan pemilih penyandang disabilitas, dalam rangka pemenuhan hak suara penyandang disabilitas.
Terkait masa pandemic, ia mengatakan, “Nanti KPU akan menyiapkan masker dan menghimbau para pemilih untuk datang menggunakan masker dari rumah. Mengenai simulasi yang telah diselenggarakan di Medan mengenai sarung tangan plastik plastik mampu membaca braile dalam surat suara,” jelasnya. Ia melanjutkan untuk mendapat support dan dukungan dari CSO dalam menyukseskan pilkada yang inklusif dan aksesible bagi penyandang disabilitas.
Dalam webinar yang diselenggarakan Perludem tersebut menghadirkan narasumber yakni Ilham Syahputra Plh. Ketua KPU RI, M. Afiffuddin Anggota Bawaslu RI, Rebecca Aaberg Pakar Inklusi Pemilu IFES, Ariani Soekanwo PPUA Disabilitas, Yenny Rosa Damayanti Perhimpunan Jiwa Sehat dan Khoirunnisa Agustyati Perludem