Advokasi kita - Perlindungan Sosial

Fenomena Voter Supression Penyandang Disabilitas Psikososial

Fenomena Voter Supression Penyandang Disabilitas Psikososial

 

 

Gangguan terhadap hak memilih atau voter supression merupakan tema baru yang belum banyak diperbincangkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, namun isu ini sebenarnya sudah terjadi pada Pemilu 2019 lalu, misalnya dengan adanya diskriminasi penyandang disabilitas psikososial yang kesulitan menggunakan hak pilihnya.


Hal itu mengemuka pada acara seminar hasil kajian Perkumpulan untuk Pemilihan dan Demokrasi (Perludem) yang berjudul “Gangguan terhadap Hak Memilih: Fenomena dan Upaya Penanggulangan.” 


Dari hasil kajian seperti yang disampaikan oleh peneliti Perludem, Mahardhika, bentuk gangguan hak memilih itu terkait dengan regulasi yang mewajibkan KTP elektronik sebagai syarat pendaftaran pemilih. Regulasi tersebut menyebabkan setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih tetapi belum memiliki KTP elektronik tidak dapat terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Proses perekaman KTP elekronik belum menjangkau seluruh masyarakat, terutama para penyandang disabilitas psikososial.


Selain faktor regulasi, dalam konteks Pemilu 2019, terjadi penyebaran informasi yang menyesatkan. Beredar luas postingan di media sosial, salah satunya cuitan akun Twitter yang menyerang hak pilih disabilitas psikososial. Pada tanggal 23 April 2019, juru kampanye salah satu pasangan calon tersebut mencuit, “Katanya org gila nyoblos ada 13juta. Trus ada video nya? Ada catatannya? Ada formulir C1 nya? Masa gak ada yg rekam? Mana 13 juta itu?. Kemudian cuitan lainnya, “Allah saja tak memberi kewajiban apa2 thd orang gila... anda malah waiibkan ikut nyoblos. Yg gila siapa ya? Mudah2an yg curang menjadi gila...” 


Hal itu dibenarkan oleh Ira Askarina dari Perhimpunan Jiwa Sehat dalam tanggapan pada diskusi hasil kajian Perludem tersebut:

 

“…masyarakat melihat “orang gila’, orang yang menggelandang di jalan yang aneh, tidak diurus, diganggu-ganggu, dikata-katain. Alih-alih dibantu malah diolol-olok. mereka gak bisa ngapa-ngapain, mana bisa ikut Pemilu, mana ngerti ikut Pemilu. Ini pandangan yang salah, mereka itu sama dengan kami, meerka itu sama dengan orang lain…perbedaannya dengan kita mereka itu tidak mendapatkan support dari keluarga dan lingkungan, bisa sekolah, bisa bekerja….Eddyansyah seorang PNS di Pemprov. DKI. Jakarta, masyarakat tidak melihat hal itu namun iihatnya orang-orang yang di jalan itu.


Menurut Ira Askarina, sebenarnya pada Pemilu 2014 tidak ada persoalan seperti ini, penyandang disabilitas psikososial sudah bisa ikut Pemilu sejak 2014, namun ketika Pemilu 2019 ini menjadi isu politik, ada kepentingan dari partai tertentu atau kubu tertentu untuk menyudutkan calonnya, dengan menuduh memobilisasi penyandang disabilitas psikososial dengan mengambil suara sebanyak-banyaknya dengan gambaran orang yang di jalanan. Oleh karena itu, beliau merekomendaiskan harus ada regulasi terkait pengaturan sosial media mengenai hal-hal yang boleh diizinkan untuk ditayangkan.


Dalam hasil kajian itu pun terungkap bahwa pelintiran kebencian terhadap penyandang disabilitas psikososial juga memengaruhi penyelenggara Pemilu yang tidak memiliki pemahaman cukup baik terkait hak pilih disabilitas psikososial. Terlebih pelatihan yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kepada KPUD dan Bawaslu daerah belum memasukan materi disabilitas psikososial. “Biasanya sebelum Pemilu ada pelatihan dari KPU dan Bawaslu kepada KPU di daerah dan Bawaslu daerah terkait penyandang disabilitas, namun materinya belum men-cover isu disabilitas mental. Dengan tidak adanya pemahaman ini maka penyelenggara di daerah tidak tahu bahwa penyandang disabilitas mental mempunyai hak memilih”, tukas Ira Askaraina. 


Menurut Ilham Saputra, komisioner KPU. di beberapa daerah sudah ada pelatihan terkait materi penyelenggaraan Pemilu untuk penyandang disabilitas, dan KPUD diberikan improvisasi dalam menyelenggarakan Pemilihan, seperti yang terjadi di Kota Surakarta, seperti disampaikan Kajad Pamuji Joko Waskito, KPUD Kota Surakarta memepersilahkan 48 penghuni salah satu rumah sakit jwa untuk berpartisipasi dalam pemilihan walikota Surakarta lalu. Ada 48 orang yang berpartisipasi. KPUD menfasilitasi menyediakan Tempat Pemungutan Suara berdasarkan persetujuan pihak rumah sakit jiwa.


Dalam closing statement-nya, Ilham Saputra mengharapkan ada dukungan juga dari Perhimpunan Jiwa Sehat dan organisasi lain dalam menindaklanjuti hasil rekomendasi dari kajian Perludem berkaitan dengan syarat membawa surat keterangan sehat bagi pemilih dengan kondisi disabilitas psikososial. Pada Pemilu 2019 lalu ketika akan menggunakan hak pilihnya penyandang disabilitas psikososial diwajibkan membawa surat rekomendasi atau keterangan dari dokter atau keluarga. Surat tersebut harus menyatakan bahwa mereka sedang dalam kondisi sehat. “Kita masih punya waktu sampai 2024, nah dalam beberapa bulan kedepan kita bisa siapkan dengan efektif dan efisien agar dari hasil kajian Perludem ini bisa digunakan oleh KPU dan Bawaslu untuk upaya pencegahan terhadap hal-hal yang menjadi gangguan dalam memilih”, tukas Ilham Saputra.


Sementara itu, Ira Askarina dalam closing statement-nya berharap hasil kajian Perludem ini bisa disebar ke sebnayak mungkin pembaca agar mereka tahu tentang fenomena penyandang disabilitas psikososial baik di panti maupun luar panti khususnya dalam hak memilih. dan pada Pemilu 2024 ini menjadi Pemilu yang damai.

 

PJS Dukung Percepatan Program Vaksinasi Pemerintah

PJS Dukung Percepatan Program Vaksinasi Pemerintah

 

 

Coronavirus-19 (Covid-19) telah menular ke semua orang tidak melihat usia, jenis kelamin, status ekonomi, demografis, dan lain sebagainya. Penularan virus ini diperkirakan terus bertambah setiap harinya dan dapat menimpa siapa saja, termasuk penyandang disabilitas psikososial. 

Penyandang disabilitas psikososial ini memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi Covid-19 dan kemudian menularkannya kepada orang sekitar. Menurut dr. Diah Setia Utami, SpKJ (Ketua PDSKJI), resiko kematian mereka dua kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lain. Berdasarkan data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI). Penyandnag disabilitas psikososial yang terpapar Covid-19 di tahun 2020 mencapai 1.105 jiwa dan sampai pertengahan tahun 2021 tekah menyentuh 829 jiwa.


Dari jumlah itu, ada 278 jiwa menurut hasil pengamatan yang kami lakukan sampai kuartal II tahun 2021 positif terpapar Covid-19 di panti rehabilitasi sosial. Oleh karena itu, perlu upaya vaksinasi dalam upaya pencegahan dan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyandnag disabilitas psikososial. Pelaksanaan vaksinasi di panti rehabilitasi mental membutuhkan persiapan ekstra, salah satunya berkaitan dengan pendataan.


Sejak Agustus 2021 kami melakukan pendataan untuk mengidentifikasikan jumlah kebutuhan vaksinasi di setiap panti rehabilitasi mental. Dari hasil pendataan, sedikitnya terdapat 48 panti dengan jumlah 3.093 penghuni dan 346 petugas yang belum divaksin. Mereka belum divaksin karena belum ada vaksinasi di panti tersebut atau pun karena banyak penghuni yang belum memiliki Nomer Induk Kependudukan (NIK) serta ada yang sedang penyembuhan covid-19 dan penyakit lainnya sehingga tidak memungkinkan mendapatkan vaksin ke-1 sebelumnya.


Selain itu, kami menemukan bahwa setidaknya ada sekitar 295 penghuni di 10 panti yang kemungkinan tidak akan mendapatkan vaksinasi karena pengelola atau pemilik tidak mengizinkan kegiatan tersebut di pantinya.


Dari hasil pendataan, kami juga melakukan observasi dan memberikan bantuan makanan kepada para penghuni maupun petugas yang telah divaksin. Misalnya pada 25 Agustus 2021 di panti Bani Syifa yang beralamat di Kp. Tegal RT.15/03 Desa Panyabrangan Kecamatan Cikesal Kabupaten Serang, serta 30 Agustus di panti Alqomariah,  Desa Warungjeruk RT/RW. 06/03 Kec. Tegalwaru Kabupaten Purwakarta.


Selain itu, kami juga berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil-Kementerian Dalam Negeri, dan dua pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DKI. Jakarta terkait dengan bantuan perekaman NIK, serta memprioritaskan vaksinasi di panti-panti atau penghuni panti. sesuai dengan ketersediaan vaksin. Komunikasi masih terus berproses hingga berita ini diterbitkan dengan harapan semakin banyak penghuni yang mendapatkan vaksinasi.

PJS Dorong Regulasi Pengaturan Media Sosial untuk Hentikan Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas

PJS Dorong Regulasi Pengaturan Media Sosial untuk Hentikan Stigma Terhadap Penyandang Disabilitas

 

Social Media Balloons Clouds Word - Free image on Pixabay

Setelah melayangkan somasi terhadap Deddy Corbuzier dan Mongol yang telah melakukan penghinaan kepada Penyandang Disabilitas Mental pada akhir Juni lalu, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) melakukan beberapa langkah strategis untuk mendorong terbentuknya regulasi terkait pengaturan media sosial. Langkah ini tentu tidak dilakukan sendiri, melainkan dengan melibatkan jaringan berbagai organisasi masyarakat sipil dan organisasi penyandang disabilitas.


Advokasi struktural ini kami inisiasi dengan menyiapkan policy brief terkait pentingnya pengaturan media sosial di Indonesia. Baik somasi yang telah dilayangkan pada bulan lalu maupun policy brief ini disiapkan oleh J. Anam, penggerak PJS Blitar yang mengidap skizofrenia dan pernah dirawat di RSJ.


Dalam policy brief ini, Anam mengkaji kebijakan beberapa negara yang telah mengatur penyedia media sosial untuk turut bertanggung jawab atas konten yang ada di dalam platform mereka. Mereka berkewajiban untuk melaporkan secara transparan dan berkala terkait komplain dari pengguna mereka beserta aksi apa yang telah mereka lakukan kepada pemerintah. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah memberlakukan denda dengan nilai yang fantastis kepada penyedia media sosial yang melakukan pelanggaran atas UU tersebut.


Kami berharap dengan advokasi struktural ini, penyandang disabilitas tidak lagi menjadi bahan olok-olok di media sosial.


Nantikan dan ikuti terus informasi selanjutnya terkait perkembangan advokasi ini!

 

PJS Ajak Puluhan OPD Kawal Advokasi Perlindungan Sosial yang Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

PJS Ajak Puluhan OPD Kawal Advokasi Perlindungan Sosial yang Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

 

 

Sejak awal tahun 2021, Perhimpunan Jiwa Sehat mengajak Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) di seluruh Indonesia untuk merumuskan kertas kebijakan Perlindungan Sosial yang Inklusif bagi Penyandang Disabilitas.

Inisiasi ini lahir karena adanya kesadaran PJS bahwa program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih tergolong minim dan tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara yang kapasitas ekonominya setara dengan Indonesia seperti Malaysia, Fiji, Afrika Selatan, dll.

Di saat yang bersamaan, dinding penghambat partisipasi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi masih begitu kokoh berdiri. Data-data menunjukkan bahwa penduduk disabilitas jauh tertinggal dibandingkan dengan penduduk non-disabilitas dalam partisipasi pendidikan maupun pekerjaan. Maka dari itu untuk mengejar ketertinggalan ini, dibutuhkan program perlindungan sosial yang memadai untuk penyandang disabilitas.  

Melihat urgensi tersebut, PJS mengadakan serangkaian kegiatan webinar dan FGD yang melibatkan setidaknya 115 orang dari 40 organisasi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia untuk merumuskan kertas kebijakan program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas yang disusun dan diusulkan sendiri oleh penyandang disabilitas. Proses penyusunan ini telah berlangsung selama delapan bulan.

Kamis (02-09) yang lalu, PJS menyelenggarakan webinar untuk mendiseminiasikan kertas kebijakan yang telah disusun tersebut. Diskusi ini dipantik oleh beberapa perwakilan OPD, yakni Antoni Tsaputra dari PPDI Padang, Nurul Saadah Andriani, Sapda, dan Edy Supriyanto dari Sehati Sukoharjo. Sementara pemandu diskusinya adalah Cucu Saidah, seorang aktivis disabilitas yang sudah tidak asing lagi.

Salah satu pokok pembahasan diskusi tersebut adalah pemetaan strategi dan langkah bersama untuk mengawal advokasi perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas. Beberapa perwakilan organisasi dari berbagai daerah menyampaikan saran dan masukannya. Salah satunya Mulyansyah, Pertuni Kalimantan Tengah sepakat mengenai hal itu. Ia mengusulkan bahwa advokasi bisa dimulai dari Bappenas. Tak hanya Bappenas, perwakilan OPD lainnya turut menambahkan Kementerian Pendidikan, Kementerian PPPA, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kemenko PMK, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian PUPR, dan sebagainya. Dari berbagai kementerian itu, Junia Rendi, PPDI Kalimantan Tengah, mengusulkan perlunya klasterisasi advokasi berdasarkan kewenangan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Tak hanya itu, badan dan lembaga nonpemerintah juga ikut dipetakan untuk mengusung advokasi ini hingga terwujud. Beberapa di antaranya yakni, BPS, BPJS, ADB, World Bank, UNDP,  WHO, ILO, UNICEF (dan lembaga di bawah PBB lainnya), serta berbagai lembaga donor internasional seperti CBM, DRF/DRAF, GIZ, USAID, dll. Cucu menambahkan, agenda advokasi ini harus menjadi agenda bersama bagi berbagai OPD di tingkat daerah maupun nasional. Koordinasi dan solidaritas yang kuat penting untuk terus dijaga mengingat ini adalah kerja yang membutuhkan napas panjang. Dwi Ariyani, dari DRF/DRAF Indonesia, sepakat dengan pendapat tersebut. Menurut Dwi, materi kampanye dan advokasi ini harus bisa diakses seluruh ragam disabilitas mengingat ini kepentingan semua orang.

Menutup diskusi tersebut, puluhan OPD menyatakan kesiapannya mengawal advokasi perlindungan sosial yang inklusif ini. Mereka ikut menanam harap, advokasi ini dapat menjadi salah satu upaya mewujudkan  penjaminan hak dan perlindungan sosial yang lebih baik di masa depan, bagi semua warga negara tanpa satu orang pun yang tertinggal. “Saya harap teman-teman OPD bisa hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan pemerintah. Kita kawal upaya ini bersama-sama, sebab semakin banyak yang ikut maka posisi kita semakin kuat,” seru Yeni Rosa Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.

PJS Layangkan Somasi untuk Deddy dan Mongol Atas Kontennya yang Telah Menghina Penyandang Disabilitas Mental

Siaran Pers Somasi unntuk Deddy dan Mongol

 

 

 

Rabu (30-06), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan berbagai organisasi masyarakat sipil menghelat sebuah konferensi pers melalui kanal Zoom Meeting dan siaran langsung di Youtube terkait upaya somasinya terhadap Deddy Corbuzier dan Mongol. Hal ini berkaitan dengan konten dalam podcast berjudul “ORANG GILA BEBAS COVID” di kanal Youtube Deddy Corbuzier yang diunggah pada 24 Juni 2021 lalu. Video tersebut mendatangkan Mongol sebagai bintang tamunya. Somasi dilayangkan karena konten semacam ini telah memberikan informasi yang sesat dan menghina penyandang disabilitas mental dan orang dengan gangguan kesehatan mental. 

 

Dalam konferensi pers, hadir para pembicara di antaranya J. Anam, seorang penyintas skizofrenia dan aktivis PJS dari Jawa Timur, Ratna Dewi, seorang penyintas bipolar dan aktivis PJS, serta  Reggie Pranoto selaku pendiri Komunitas Borderline Personality Disorder (KBPD) Indonesia. Ketiganya pernah dirawat di rumah sakit jiwa dan termasuk salah satu pihak yang  menginisiasi pembuatan serta penjaringan dukungan untuk somasi ini.

 

Penting untuk diketahui bahwa selama pandemi Covid-19 ini banyak media telah memberitakan tingginya angka penyandang disabilitas mental yang terpapar virus Covid-19. Dengan demikian, pernyataan Deddy Corbuzier dan Mongol, apalagi digunakan sebagai bahan mengolok-olok, sangat tidak pantas. Hal ini juga menunjukkan suatu kemunduran sebab dalam judul dan konten itu masih menggunakan sebutan “orang gila”, ketika istilah orang dengan gangguan kesehatan jiwa (ODGJ) dan penyandang disabilitas mental (PDM) sudah lama digunakan setidaknya dalam lebih dari satu dekade ini. Sungguh perbuatan yang disayangkan oleh banyak pihak, terutama berbagai organisasi masyarakat sipil yang turut menandatangani somasi ini, karena telah merendahkan martabat ODGJ/PDM. Konten yang dianggap sebagai hiburan dan komedi ini sama sekali tidak lucu, tidak menghibur, tidak mengedukasi, dan justru melakukan pembodohan publik, menghina dan melecehkan ODGJ/PDM, serta berpotensi menyebarluaskan dan melanggengkan stigma. Oleh sebab itu, somasi ini dilakukan sebagai upaya untuk mengubah dan menghentikan stigma, sebab ia bisa sangat berpotensi sebagai awal dari perlakuan buruk dan diskriminatif yang selanjutnya kepada  ODGJ/PDM.

 

Reggie Pranoto mengutarakan kekecewaannya terhadap podcast Deddy Corbuzier itu. Ketika mendengarkan video tersebut, Reggie merasa bahwa tindakan semacam ini tidak bisa dibiarkan karena dapat berpotensi dianggap “wajar” bagi masyarakat umumnya. Ia lalu merujuk berbagai konten yang juga dibuat oleh pesohor lainnya berpura-pura menjadi ODGJ, menggunakan pakaian compang-camping, dan sebagainya. Menurutnya konten semacam itu tidak lucu sama sekali. “Kita perlu menunjukkan diri bahwa kita marah, kecewa, sakit hati, dan sebagainya supaya tidak ada kejadian seperti ini lagi. Mereka telah memanfaatkan kondisi yang dialami para PDM demi keuntungan pribadinya. Sementara, kita yang melaluinya tidak mudah, kepercayaan diri bisa turun, berpotensi mengganggu pengobatan, dan bahkan menjadi awal dari perlakuan buruk dan diskriminatif selanjutnya kepada ODGJ/PDM,” jelas Reggie.

 

Dampak yang serius dari stigma seperti yang dilakukan oleh Deddy dan Mongol   dikonfirmasi oleh Ratna Dewi. Ia menyebutkan bahwa ketika ia mengalami relapse (kambuh) di tahun 2012, ia di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja. Pemecatan itu dilakukan karena memiliki masalah kejiwaan. “Padahal, ada teman saya yang punya penyakit kronis (dalam artian sama-sama sakit) sehingga harus sering melakukan cuti untuk cuci darah, tetapi dia bisa tetap di sana dan saya dipecat. Kita sebagai penyandang bipolar sebenarnya bisa bekerja seperti yang lainnya, selama itu mendapat dukungan yang cukup dan layak. Sekarang saya sulit mendapatkan pekerjaan,” kata Dewi. Ia turut menjelaskan bahwa penyandang disabilitas mental memiliki kebutuhan yang sama dengan yang lainnya, yakni seperti pendidikan, pekerjaan, pengobatan yang layak, perumahan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, stigma yang terus-menerus dilakukan kepada ODGJ/PDM berdampak pada berbagai macam diskriminasi,  termasuk hilangnya akses.

 

Pernyataan Deddy dan Mongol dalam podcast tersebut juga dinilai J. Anam sebagai contoh informasi yang sesat dan termasuk pembodohan publik. Ia mengatakan bahwa sebutan “gila” yang digunakan Deddy dan Mongol dan cemoohan yang diutarakan menggambarkan betapa sempit pengetahuan mereka mengenai kondisi yang dihadapi penyandang disabilitas. “Sebagai seorang PDM yang juga pernah dirawat di rumah sakit, kondisi yang disampaikan mereka itu sama sekali tidak benar. Mereka yang didiagnosa skizofrenia sekalipun tidak mengalami halusinasi dan/atau delusi sepanjang waktu. Banyak dari pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa itu bisa berkomunikasi dan beraktivitas seperti biasa. Jadi, keliru kalau mereka bilang ODGJ/PDM tidak bisa kena virus Covid-19, mereka justru bisa lebih rentan. Ini jelas tidak sesuai dengan realita,” jelas Anam.

Maulani Rotinsulu selaku ketua dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia turut mengutarakan pendapatnya sebagai perwakilan gerakan lintas disabilitas. Menurutnya, organisasi penyandang disabilitas dari berbagai ragam harus terlibat dalam somasi ini karena ODGJ/PDM termasuk penyandang disabilitas. Lani juga mengatakan bahwa isu disabilitas seharusnya bukan hal yang baru bagi seorang Deddy Corbuzier, sebab di Hari Disabilitas tahun 2020 lalu, yang bertepatan setiap tanggal 3 Desember, ia adalah salah satu yang figur publik yang diundang sebagai pembicara. Perempuan yang akrab dipanggil Lani itu juga mengutarakan bahwa isu disabilitas seringkali banyak digunakan para pesohor untuk mendapatkan popularitas mereka, terutama sebagai bahan olok-olok. “It is not the time to educate, karena kita sudah puluhan tahun diperlakukan seperti ini. Kita adalah sesama manusia yang derajatnya sama, tidak ada satupun yang boleh menjadikannya lelucon bahkan ‘alas kak’. Kita harus menghilangkan ini, baik secara formal lewat peraturan-peraturan atau desakan semacam ini,” kata Maulani dengan tegas.

 

Menutup konferensi ini, Yeni Rosa Damayanti sebagai ketua PJS menjelaskan bahwa upaya somasi ini adalah langkah tepat untuk menghentikan perbuatan penghinaan kepada ODGJ/PDM. Yeni percaya bahwa Deddy Corbuzier bukan orang yang “baru” dengan isu disabilitas, sehingga tidak perlu lagi edukasi dan semacamnya. “Mengenai langkah hukum selanjutnya, tergantung dari bagaimana respons dari pihak Deddy Corbuzier dan Mongol. Apabila dalam waktu 6x24 jam mereka tidak menunjukkan iktikad baik untuk menjawab somasi kita, maka kami akan berkonsultasi dengan lembaga bantuan hukum,” pungkas Yeni.

 

Dokumen surat somasi yang dibacakan dalam konferensi pers tersebut dapat diakses melalui link berikut ini .

Social Media PJS