Advokasi kita - Perlindungan Sosial
Mencermati Klausul Cakap Hukum Dalam Pasal 38 dan 39 RKUHP
Mencermati Klausul Cakap Hukum Dalam Pasal 38 dan 39 RKUHP
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi RUU prioritas di tahun ini. Menurut Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan – PSHK, pembahasannya diprediksi akan berjalan singkat, karena bersifat meneruskan dari pemabahasan sebelumnya di periode 2014-2019 yang saat itu kelompok organisasi penyandang disabilitas belum pernah dilibatkan, padahal ada beberapa pasal dalam RKUHP yang menyebut kata “disabilitas” secara langsung.
“Terdengar pemerintah dan DPR akan segera mensahkan, namun di satu sisi isu penyandang disabilitas belum terelaborasi dengan baik”, ujar Fajri
Penyandang disabilitas adalah warga negara yang memiliki kesamaan di mata hukum dan mereka adalah subjek hukum. “Penyandang disabilitas akan menjadi objek penghukuman”, kata Fajri.
Seperti disebutkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 yang berkaitan dengan konsep pengurangan pidana:
-
Pasal 38; “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan.”
-
Pasal 39; “Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana meenderita disabilitas mental yang dalam keadaan eksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.”
Konsep pengurangan pada dua pasal itu belum dijelaskan panduan standarnya apakah setengah, sepertiga, seperempat, dll. Ketika konsepnya itu adalah penyandang disabilitas mental atau inteletual, maka menurut usulan Fajri, seharusnya konsepnya adalah penghapusan atau penghilangan pidana secara keseluruhan setelah mendapatkan assessment dari para ahli ketika penyandang disabilitas mental atau intelektual itu melakukan tindak pidana.
Sejalan dengan Fajri, Yeni Rosa Damayanti juga menyampaikan bahwa masalah terbesar dari penyandang disabilitas mental atau psikososial adalah ketidaksamaan di mata hukum. Apabila dia dinyatakan tidak cakap hukum, maka dia dianggap tidak dewasa. Ini berkonsekuensi pada lenyaplah hak seseorang untuk melakukan tindakan hukum, seperti tidak bisa menjadi saksi, tidak bisa berperkara di pengadilan, tidak bisa melakukan transaksi keuangan, dll.
Padahal penyandang disabilitas mental dengan dukungan yang tepat itu sebenarnya bisa melakukan segala hal seperti orang lain, bisa bekerja, bisa bersosialisasi, bisa bersekolah, bisa menikah, dll. “Gangguan jiwa itu episodik. Kondisi atau gejala kekambuhannya tidak berlangsung terus penerus”, kata Yeni.
Ketika dikaitkan dengan Pasal 38 dan 39 RKUHP, penyandang disabilitas mental itu harusnya tidak ada pembedaan kapasitas hukum untuk mempertanggungjawabkan ketika dia melakukan tindak pidana. “Jadi penetapkan pengurangan atau penghapusan itu bukan berdasarkan bahwa apakah seseorang itu penyandang disabilitas mental atau tidak”, jelas Yeni.
Yeni berpendapat Pasal 38 tersebut sebaiknya dihilangkan atau dielaborasi dengan Pasal 39 dengan catatan bahwa asas pemaafan tersebut harus mendapatkan assessment dari ahli (psikiater).
Taufik Basari berjanji usulan-usulan dalam 2 pasal tersebut akan dibawanya dalam pembahasan di DPR. Namun saat ini draftnya masih dibahas di pemerintah. Beliau menekankan pentingnya masyarakat sipil agar mendorong pemerintah agar membedah kembali RKUHP tersebut atau dijadikan materi pembahasan khususnya terkait dengan isu disabilitas.
Kesepahaman HIMPSI Terkait Revisi Pasal 433 KUH Perdata
Kesepahaman HIMPSI Terkait Revisi Pasal 433 KUH Perdata
Sepekan lalu (08-06), Perhimpunan Jiwa Sehat bersama dengan 11 organisasi masyarakat sipil melakukan audiensi secara daring dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) untuk membangun kesepahaman dan memperoleh dukungan untuk melakukan Judicial Review (JR) terhadap Pasal 433 KUH Perdata. Produk hukum yang diciptakan pada masa kolonial Belanda itu telah usang dan banyak melanggar hak-hak dasar penyandang disabilitas mental. Padahal, konteks sosial telah berubah dan perkembangan ilmu psikologi telah maju sedemikian rupa bila dibandingkan sejak kelahiran hukum itu.
Yeni Rosa Damayanti, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, mengatakan bahwa di Belanda hukum pengampuan telah jauh mengalami perubahan. Semula sistem pengampuan di Belanda sama seperti Pasal 433 KUH Perdata, di mana perwalian bersifat penuh (substitute decision making). Namun saat ini, aturan itu telah berubah menjadi pengampuan pendukung atau yang disebut sebagai supportive decision making.
Hisyam, peneliti Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, menuturkan bahwa Pasal 433 KUH Perdata, Pasal 32 UU 8/2016, dan Pasal 71 UU 18/2014 melanggar kapasitas hukum penyandang disabilitas. Pengampuan ini akan mematikan hak keperdataan penyandang disabilitas (civil death).
Seperti dialami Ripin, tutur Yeni Rosdianti, peneliti Komnas HAM. Ripin mengalami slowerner, kakak dan suami kakaknya mengampu Ripin dan 2 adiknya untuk memindahkan aset tabungan milik Ripin dan adik-adiknya masing-masing 500 juta rupiah.
“Tentunya dalam upaya kita memperbaiki KUH Perdata khususnya pasal pengampuan yang out of dated, KUH Perdata ini dijadikan landasan bagi peraturan perundang-undangan dibawahnya. Jadi kalau tidak ada perbaikan dalam KUH Perdata maka aturan hukum dibawahnya masih tetap mengabaikan hak-hak penyandang disabilitas. Kita harus kerja sama dengan berbagai pihak termasuk dari kawan-kawan psikolog. Oleh karena itu, kita melakukan permohonan audiensi dengan bapak-ibu sekalian”, Ujar Yeni Rosa Damayanti.
Hal itu disambut baik pengurus HIMPSI, Andik Matulessy, Sekjen HIMPSI, “Peraturan apa pun itu harus menyesuakan situasi dan kondisi.”
Begitu pun Reni Kusuma Wardhani, dari Asosiasi Piskologi Forensik,
“KUH Perdata sebagai dasar bagi hakim itu kami sepakat itu kadaluarsa. Tadi seperti disampaikan KUH Perdata bab 17, Pasal 433 s.d Pasal 461 sebetulnya tidak diatur secara adil. Ada kata-kata ‘harus dibawah pengampuan’ kata ‘harus’ ini yang mendorong pengampuan ini dilakukan dalam waktu cepat. Ini merendahkan atau mendiskriminasikan. Asosiasi Psikologi Forensik mengharaokan ada perubahan dari KUH Perdata. Kami siap sumbang saran dari perspektif psikolog.”
Vaksinasi Covid-19 Mulai Diberikan bagi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia
Vaksinasi Covid-19 Mulai Diberikan bagi Penyandang Disabilitas Seluruh Indonesia
"Ini pertama kali kita memberikan vaksin khusus ke Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODGJ umumnya memiliki komorbid banyak, karena mereka tidak bisa menceritakan dengan terbuka apa yang mereka rasakan. Oleh karena itu, saya bagus bila mulai memberikan prioritas kepada orang dengan gangguan jiwa," kata Budi Gunadi Sadikin, menteri kesehatan. Senin (07-06) lalu, akun media sosial Kementerian Kesehatan mengumumkan rancangannya melakukan vaksinasi bagi penyandang disabilitas. Hal ini dilakukan berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. HK.02.01/MENKES/598/2021 tentang Percepatan Pelaksanaan Covid-19 bagi Masyarakat Lanjut Usia, Penyandang Disabilitas, serta Pendidik, dan Tenaga Kesehatan. Dalam unggahan tersebut tertulis bahwa vaksinasi dilakukan secara serentak mulai tanggal 1 Juni 2021 dan telah menyasar 562.242 penyandang disabilitas, termasuk mental, di seluruh wilayah Indonesia. Menurut paparan tersebut, penyandang dapat dilayani di seluruh fasilitas kesehatan/sentra vaksinasi manapun dan tidak terbatas pada alamat domisili KTP.
Menanggapi surat edaran menteri tersebut, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat yang ditujukan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalamnya, dipastikan bahwa vaksinasi Covid-19 bagi penyandang disabilitas, termasuk disabiblitas mental, termasuk dalam daftar penerima vaksin. Dalam lampiran, diperkirakan sekitar 562.242 dari 488.246 penyadang disabilitas menjadi target penerima vaksin.
Sebelumnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) pernah melakukan beberapa kali audiensi dengan berbagai pihak. Salah satu tujuannya secara khusus adalah mendorong pemerintah untuk melakukan vaksinasi bagi penyandang disabilitas mental yang ada di panti-panti sosial. Sebab, kerentanan mereka untuk terpapar virus cukup tinggi mengingat isu kelebihan kapasitas dan sanitasi yang kerap menjadi permasalahan utama dalam panti. Selain itu, di berbagai negara, penghuni panti sosial termasuk daftar prioritas penerima vaksin selain lansia dan tenaga kesehatan. Oleh sebab itu penting bagi Indonesia untuk memberlakukan kebijakan yang sama, mengingat kerentanan mereka yang tinggi. Secara umum, dalam beberapa kali kegiatan, PJS juga mendorong pemerintah untuk memasukkan penyandang disabiltias sebagai daftar penerima vaksin. Salah satu pertimbangannya karena penyandang disabilitas biasanya juga memiliki komorbid, sehingga perlu dipertimbangkan untuk menjadi kelompok prioritas.
Beberapa Pertimbangan yang Harus Diperhatikan ketika Penyandang Disabilitas Mental berhadapan Dengan Hukum
Beberapa Pertimbangan yang Harus Diperhatikan ketika Penyandang Disabilitas Mental berhadapan Dengan Hukum
Pada Jumat (28-05), Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) menyelenggarakan training of trainers (ToT) bagi tenaga pendidik Pusdiklat Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pelatihan tersebut mengusung tema mengenai peradilan yang fair (fair trial) bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Pelatihan dengan tema yang sama diselenggarakan kembali dengan sasaran peserta yang berbeda pada dua minggu selanjutnya. Kamis (10-06) lalu, peserta pelatihan adalah tenaga pendidik Badiklat Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Keduanya diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Rangkaian acara ini turut mengundang beberapa aktivis disabilitas menjadi narasumber, salah satunya Yeni Rosa Damayanti selaku ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.
Pada kesempatan tersebut, Yeni memaparkan beberapa hal yang harus menjadi perhatian ketika penyandang disabilitas mental berhadapan dengan hukum. Stigma yang masih sangat kuat, bila dibandingkan dengan ragam disabilitas lainnya, sangat memungkinkan masyarakat dan aparat penegak hukum bias dalam memahami kasus. Selain itu, dipisahkannya penyandang disabilitas dari lingkungan sosialnya membuat masyarakat jarang berinteraksi dengan mereka dan berdampak pada stigma yang semakin menguat. Hal ini tentu saja berkaitan dengan dukungan yang masih sangat minim bagi mereka, terutama dari negara. Oleh sebab itu, untuk memberikan pemahaman awal dan dasar, Yeni menjelaskan beberapa gambaran umum mengenai penyandang disabiltas mental.
Menurut UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dengan demikian, Yeni menggarisbawahi, bahwa ada dua aspek kunci yang harus diperhatikan dalam pengertian ini, yakni berjangka waktu lama dan mengalami hambatan atau kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif. Beberapa gangguan kesehatan mental yang dapat diidentifikasi berdasarkan dua aspek ini di antaranya adalah skizofrenia, depresi, gangguan kecemasan, dan bipolar.
Berdasarkan gejala dan karakteristik umumnya, tiap gangguan kesehatan mental memiliki ciri khas masing-masing dan seringkali bersifat unik antar individu. Maka dari itu perlu untuk mempelajari gejala dan karakteristik ini dalam memahami kasus atau perkara hukum yang melibatkan mereka. Yeni menekankan pentingnya keterangan ahli untuk membantu jaksa dan hakim mengambil keputusan, sebab tanpa hal ini hampir sulit dipastikan hasil pengadilan tidak melanggar hak-hak dasar para penyandang disabilitas mental. Berdasarkan buku konsesus penatalaksanaan gangguan skizofrenia (PDSKJI, 2011), gangguan jiwa dapat diklasifikasikan pada tiga fase yaitu: fase akut, fase stabilisasi, dan fase pemeliharaan. Masing-masing fase tentu memiliki tata laksana dan penanganan yang berbeda-beda. Pada fase pemeliharaan, misalnya, penyandang disabilitas mental diharapkan telah mampu secara aktif melakukan kehidupan sosialnya. Mengingat gangguannya yang bersifat episodik ini, maka sudah selayaknya mereka mendapatkan penanganan yang berbeda-beda berdasarkan karakteristik gangguan, tingkatan, dan juga fasenya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, salah satu isu diskriminasi di bidang hukum yang marak dialami oleh penyandang disabilitas mental adalah mengenai pengampuan (perwalian). Penyandang disabilitas mental dan intelektual (kognitif) lebih banyak mengalami penolakan kapasitas hukum dan berimplikasi pada pelanggaran hak mereka. Praktik penghapusan hak-hak seseorang melalui pengampuan penuh dapat dikatakan sebagai kematian perdata, di mana seseorang tidak bisa melaksanakan hak-hak sipil mereka. Putusan pengampuan penuh umumnya menimbulkan pelanggaran hak menjadi menyeluruh dan relatif permanen. Tentu saja hal ini bertentangan dengan Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabiltias (CRPD). Salah satu latar belakang fenomena ini adalah anggapan yang keliru, tetapi sudah lama mengakar secara kultural, bahwa penyandang disabilitas mental secara otomatis kehilangan kapasitas hukumnya sehingga harus ditempatkan di bawah pengawasan keluarga (perwalian informal). Pengampuan informal ditandai dengan tidak adanya persetujuan (inform consent) dari penyandang disabilitas atas keputusan yang diambil atas dirinya. Ada pula praktik perwalian formal yang didapt dari hasil putusan pengadilan. Hal ini terjadi karena hukum pengampuan di Indonesia juga masih menggunakan definisi yang kabur mengenai disabilitas mental, seperti "... keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap" yang tertulis pada Pasal 433 KUH Perdata. Definisi yang kabur ini sesungguhnya telah mengakui keadaan episodik dari kondisi penyandang disabilitas mental, namun pasal ini tidak mempertimbangkan sama sekali aspek episodik dari penyandang disabilitas, melainkan menyaamaratakan saja, dengan penggunaan frasa: “sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.” Pengampuan semacam ini sering dikategorikan sebagai hukum berbasis status (status based) karena disabilitas seseorang dianggap menjadi dasar penghapusan kapasitas hukumnya.
Menanggapi hal ini, peserta pelatihan merespons dengan berbagai tanggapan. Mereka sepakat bahwa perlu suatu peraturan yang mengikat bahwa asesmen terhadap disabilitas bagi siapa saja yang berhadapan dengan hukum itu diperlukan, termasuk bagi penyandang disabilitas mental yang menjadi saksi, korban, maupun tersangka dalam rangkaian proses pidana. Hal ini berguna untuk menjadi acuan hakim maupun jaksa untuk meminta pertimbangan dan keterangan ahli semacam apa dan sejauh apa yang ia butuhkan untuk menetapkan keputusan. Selain itu, perlu juga menjadi suatu catatan bahwa pendidikan dasar mengenai disabilitas bagi penegak hukum harus mulai dilakukan secara masif. Hal ini perlu berjalan beriringan dengan agenda reformasi hukum yang adil dan berpihak pada penyandang disabilitas.
Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat
Mengenal Skizofrenia Lebih Dekat

Sabtu (29-05) lalu, Perhimpunan Jiwa Sehat menyelenggarakan webinar dalam rangka memperingati Hari Skizofrenia. Webinar ini turut mengundang Mazidatun Maftukhah, SS, seorang mahasiswa S2 SGPP Indonesia sekaligus penyintas skizofrenia dan dr. Indraswari, SpKJ sebagai psikiater RSU Muntilan. Keduanya berpartisipasi sebagai narasumber. Dyah Indrapati. SPsi, MPP, seorang psikolog juga turut hadir dalam diskusi sebagai moderator.
Dalam diskusi ini, Mazidatun berbagi mengenai pengalamannya sebagai seorang penyintas skizofrenia. Ia mengatakan bahwa kampus tempatnya menempuh pendidikan berperan banyak dalam mendukung pemenuhan kebutuhan belajarnya. Dalam beberapa kali kesempatan, Mazida memaparkan bahwa dirinya diperbolehkan rehat di tengah-tengah jam pembelajaran bila dirasa diperlukan. Ia juga pernah beberapa kali meminta penyesuaian seperti mendengarkan musik ketika ujian, istirahat di belakang kelas ketika kelelahan, dan lain-lain. Penyesuaian dan pemenuhan kebutuhan seperti ini penting bagi penyandang disabilitas mental untuk menunjang kenyamanannya dalam proses belajar. Dyah Indrapati menegaskan hal yang sama. Ia mengatakan bahwa dirinya juga sekelas dengan Mazida dan turut mengupayakan kondisi tersebut terpenuhi, sehingga teman-teman penyandang disabilitas mental seperti Mazida bisa tetap mengikuti pembelajaran dengan ritme dan kondisi yang bisa ia sesuaikan sendiri.
Praktik penyelenggaraan akomodasi yang layak khususnya kepada penyandang disabilitas mental ini masih relatif jarang diterapkan di institusi pendidikan. Padahal, ada beberapa kondisi yang dialami penyandang disabilitas yang perlu disesuaikan demi menciptakan lingkungan yang inklusif bagi mereka. Absennya modifikasi dan penyesuian yang perlu dan sesuai bagi peserta didik penyandang disabiltias sangat mungkin berdampak pada sulitnya mereka menjalani pendidikan yang setara seperti yang lainnya. Salah satu dampak yang paling mudah ditemukan adalah banyaknya penyandang disabilitas yang mengalami drop out karena dianggap tidak bisa menyelesaikan masa studinya secara tepat waktu, absen kelas dalam jangka waktu yang lama karena relaps, dan banyak alasan lainnya yang sebenarnya berhubungan dengan disabilitasnya.
Dokter Indraswari juga menggarisbawahi, faktor pendukung dari lingkungan penyandang disabilitas mental sangat berpengaruh bagi perkembangan kondisi mereka. Dalam masa pemulihan, para penyandang disabilitas yang mendapat dukungan penuh dari keluarga, lingkaran pertemanan, juga termasuk lingkungan sosialnya dapat melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari sama seperti masyarakat umumnya. Dengan demikian penyelenggaraan akomodasi yang layak, termasuk di institusi pendidikan, sangat penting untuk dilakukan.