Advokasi kita - Persamaan Hukum

Perhimpunan Jiwa Sehat Raih Jimly Award 2025: Pengakuan Bersejarah bagi Gerakan Disabilitas

Pada 15 Oktober 2025, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menerima Jimly Award sebagai Pejuang Penegak Konstitusi Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Jimly School of Law and Government (JSLG) di Grand Sahid Jaya, Jakarta. Penghargaan ini menandai sejarah baru bagi gerakan hak asasi manusia di Indonesia—untuk pertama kalinya, sebuah organisasi penyandang disabilitas diakui sebagai pembela konstitusi dan hak asasi manusia.

 

Selama puluhan tahun, penyandang disabilitas kerap dipandang tidak mampu dan tidak mungkin menjadi aktor perubahan. Mereka sering ditempatkan sebagai penerima belas kasihan, bukan sebagai subjek perjuangan. PJS mematahkan stigma itu. Melalui kerja panjang dan konsisten, PJS menunjukkan bahwa penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas psikososial, mampu menjadi pelopor dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap konstitusi.

 

Ketua PJS, Yeni Rosa Damayanti, menyampaikan bahwa penghargaan ini adalah pengakuan terhadap perjuangan panjang penyandang disabilitas untuk diakui sebagai warga negara yang setara. Ia berharap penghargaan serupa di masa depan juga mempertimbangkan aktivis disabilitas yang telah berjuang mati-matian memperjuangkan kesetaraan dan kemanusiaan di tengah berbagai keterbatasan dan stigma sosial.

 

PJS sendiri memiliki rekam jejak panjang dalam memperjuangkan hak konstitusional penyandang disabilitas. Salah satunya adalah pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar penyandang disabilitas psikososial diakui haknya untuk didaftarkan sebagai pemilih dalam pemilu. Upaya ini menantang pandangan diskriminatif bahwa mereka tidak memiliki legal capacity atau kapasitas hukum yang sama dengan warga negara lainnya.

 

Dalam sambutannya, Yeni mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Sekitar 20.000 penyandang disabilitas psikososial masih hidup dalam kurungan tanpa proses hukum yang sah, baik di panti sosial maupun institusi lainnya. “Banyak yang menganggap hal itu wajar, seolah-olah mereka tidak layak hidup bebas,” ujar Yeni. Ia menegaskan bahwa praktik pengurungan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena penyandang disabilitas psikososial pun berhak atas kebebasan, martabat, dan perlindungan hukum yang sama.

 

Yeni berharap penghargaan ini menjadi pemantik kesadaran publik—bahwa penyandang disabilitas psikososial adalah manusia seutuhnya, warga negara yang berhak atas martabat, kebebasan, dan kesempatan yang sama. Lebih dari sekadar penghargaan, Jimly Award 2025 bagi Perhimpunan Jiwa Sehat adalah pengakuan terhadap kemanusiaan yang selama ini diabaikan, sekaligus langkah menuju Indonesia yang lebih adil dan inklusif bagi semua.

 

      

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025: Jangan Lupakan Puluhan Ribu Orang yang Masih Terkurung di Dalam Panti

Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day) — sebuah momentum global untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa dan menegaskan bahwa setiap manusia berhak hidup bermartabat tanpa diskriminasi. Namun di balik kampanye bertema “Wellbeing for All” atau “Mental Health is a Universal Human Right”, terdapat realitas pahit yang masih luput dari perhatian publik: puluhan ribu orang dengan disabilitas psikososial di Indonesia masih dikurung di dalam panti-panti, kehilangan kebebasan, dan dilupakan oleh sistem.

 

Menurut data Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), hingga kini diperkirakan terdapat lebih dari 13.500 orang dengan disabilitas psikososial yang masih hidup dalam kondisi pengurungan di panti-panti rehabilitasi dan lembaga serupa, dengan sekitar separuhnya adalah perempuan. Mereka dikurung bukan karena tindak pidana, melainkan karena stigma, ketakutan, dan ketiadaan dukungan sosial yang memadai. Banyak di antara mereka mengalami kekerasan, penelantaran, dan kehilangan hak dasar untuk hidup secara bebas dan bermartabat. Pengurungan di panti menjadi bentuk pemasungan modern — praktik yang melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan prinsip pemulihan berbasis masyarakat sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).

 

Kenyataan ini kembali mendapat sorotan dalam audiensi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada 8 Oktober 2025 ini dipimpin oleh Ibu Linda, Asisten Deputi Peningkatan Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan, dan dihadiri oleh sejumlah pejabat dari Kemenko PMK. Pertemuan tersebut membahas persoalan mendasar dalam sistem layanan kesehatan jiwa di Indonesia, terutama terkait penghapusan praktik pengurungan di panti dan penguatan Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) sebagai mekanisme lintas sektor untuk mewujudkan layanan berbasis komunitas.

 

Dalam kesempatan itu, PJS menayangkan video dokumentasi yang diambil dari kanal PJS Media di YouTube, memperlihatkan kondisi nyata di dalam panti: orang-orang duduk di lantai tanpa alas, ruang-ruang tertutup tanpa ventilasi, dan wajah-wajah kosong yang telah lama kehilangan kebebasan. Tayangan ini menghadirkan bukti visual tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di balik tembok institusi yang disebut “rehabilitasi.” PJS menegaskan bahwa pengurungan semacam itu bukan bentuk perawatan, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang meniadakan prinsip kemanusiaan dan pemulihan.

 

PJS menyampaikan sejumlah usulan konkret kepada pemerintah, antara lain:

  • Menyertakan bab khusus tentang partisipasi masyarakat dan perlindungan sosial adaptif bagi penyintas panti dalam kebijakan TPKJM.
  • Membangun sistem dukungan berbasis masyarakat (community-based support) yang memungkinkan penyandang disabilitas psikososial hidup mandiri dan diterima di masyarakat.
  • Meningkatkan koordinasi lintas sektor, melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Bappenas, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan kebijakan inklusif dapat dijalankan secara efektif.

 

PJS menekankan bahwa tanpa dukungan sosial yang memadai — seperti akses perumahan, jaminan sosial, pekerjaan, dan layanan kesehatan berbasis komunitas — penyintas panti akan terus menghadapi risiko kembali dikurung. “TPKJM tidak akan berjalan efektif tanpa perlindungan sosial yang kuat,” tegas perwakilan PJS dalam audiensi tersebut.

 

Menanggapi paparan ini, Ibu Linda dari Kemenko PMK menyatakan bahwa isu pengurungan di panti adalah persoalan serius yang harus mendapat perhatian nasional. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengintegrasikan isu ini dalam kebijakan lintas kementerian, mengingat masalah tersebut mencakup aspek kesehatan, sosial, dan hak asasi manusia. Menurutnya, diperlukan rumah aman (safe house) sebagai tempat transisi bagi penyintas panti sebelum kembali ke masyarakat, serta edukasi publik berkelanjutan untuk menghapus stigma terhadap penyandang disabilitas psikososial.

 

Lebih lanjut, Kemenko PMK juga menyoroti pentingnya pengawasan dan evaluasi independen terhadap panti-panti rehabilitasi agar dapat bertransformasi menjadi lembaga yang manusiawi — terbuka, partisipatif, dan menghormati pilihan individu. “Kita tidak boleh lagi menutup mata. Mereka yang hidup di balik tembok panti juga bagian dari bangsa ini,” ujar Ibu Linda dalam pernyataannya.

 

Momentum Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa kesehatan jiwa bukan hanya urusan medis, tetapi juga urusan kemanusiaan dan keadilan sosial. Selama masih ada orang yang dikurung di panti atas nama perawatan, maka bangsa ini belum sepenuhnya menghargai nilai kemanusiaan yang seutuhnya.

 

Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk:

  1. Menghapus praktik pengurungan dan institusionalisasi penyandang disabilitas psikososial.
  2. Mengembangkan sistem layanan berbasis komunitas yang menghormati pilihan dan martabat individu.
  3. Menjamin perlindungan sosial yang adil dan berkelanjutan bagi para penyintas panti.

 

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini mengingatkan kita bahwa pemulihan sejati tidak bisa terjadi di balik jeruji, melainkan di tengah masyarakat yang inklusif dan penuh empati. Mari bersama-sama memastikan tidak ada satu pun jiwa yang dilupakan, tidak ada satu pun manusia yang dikurung karena perbedaan cara berpikir, merasa, atau bertindak.

 

Jangan lupakan mereka yang masih terkurung. Buka gerbang panti, buka hati, dan pulihkan kemanusiaan kita bersama.

 

   

 

 

Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI

Pada 29 September 2025, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas yang di dalamnya termasuk Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR RI. Forum ini membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Bersama Lokataru Foundation, Aliansi Advokat Pemerhati Keadilan, serta pakar seperti psikiater dr. Irmansyah Sp.KJ dan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, Koalisi menyampaikan catatan kritis terkait pasal-pasal yang berpotensi diskriminatif.

 

Isu krusial yang menjadi sorotan adalah Pasal 208 RKUHAP, yang menyamakan penyandang disabilitas mental maupun intelektual dengan anak di bawah 15 tahun. Pasal ini mengatur bahwa kesaksian mereka hanya dapat diberikan tanpa sumpah. Akibatnya, kesaksian penyandang disabilitas dipandang lemah, tidak sah sebagai alat bukti utama, dan sangat berisiko diabaikan dalam proses peradilan. Hal ini dinilai berbahaya, terutama pada kasus kekerasan seksual yang sering hanya melibatkan korban dan pelaku. Jika kesaksian korban disabilitas mental hanya dianggap keterangan tambahan, maka keadilan bagi korban akan sulit dicapai.

 

Koalisi menilai pasal tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan berbagai instrumen hukum, baik nasional maupun internasional. UUD 1945 (Pasal 28D, 28H, 28I), UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, PP Nomor 39 Tahun 2020, hingga Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) menegaskan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Menyamakan seluruh penyandang disabilitas mental dengan individu yang tidak mampu memberi keterangan merupakan pandangan usang dari KUHAP 1981 (Pasal 171) yang seharusnya tidak lagi dipertahankan dalam sistem hukum modern.

 

Sebagai solusi, Koalisi merekomendasikan penghapusan frasa diskriminatif “sakit ingatan/sakit jiwa” dari RKUHAP, penegasan bahwa semua orang berhak memberikan kesaksian di bawah sumpah, serta penilaian kapasitas yang berbasis fungsi oleh ahli independen, bukan asumsi aparat. Negara juga wajib menyediakan akomodasi yang layak, seperti pendamping disabilitas, bahasa sederhana, komunikasi augmentatif, serta fleksibilitas waktu. Lebih jauh, prinsip supported decision-making perlu diterapkan agar penyandang disabilitas tetap diakui sebagai subjek hukum penuh yang setara.

 

Melalui RDPU ini, Koalisi Nasional Disabilitas menegaskan bahwa revisi KUHAP harus benar-benar menjadi momentum memperkuat akses keadilan yang inklusif, setara, dan menghormati martabat semua warga negara, tanpa kecuali.

 

      

 
 

Audiensi PJS ke Kemenko PMK: Dorong Perlindungan Sosial bagi Penyandang Disabilitas Mental

Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) melakukan audiensi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada 8 Oktober 2025 untuk membahas penggerakan kesehatan jiwa masyarakat dan perlindungan hak penyandang disabilitas mental. Pertemuan dipimpin oleh Ibu Linda, Asisten Deputi Peningkatan Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan, dan berlangsung dari pukul 09.00 hingga 11.00 WIB.

 

Dalam pertemuan ini, PJS menyoroti masih maraknya praktik pemasungan dan pengurungan di panti-panti rehabilitasi yang membatasi kebebasan penyandang disabilitas mental, dengan data mencatat sekitar 13.500 orang, setengahnya adalah perempuan. Sebagai bagian dari audiensi, PJS memutar video dokumentasi dari kanal YouTube PJS Media yang menampilkan kondisi nyata di dalam panti. Tayangan ini memperlihatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar dan martabat manusia, sekaligus menjadi bukti bahwa masih banyak lembaga rehabilitasi yang belum memenuhi standar kemanusiaan.

 

PJS juga mengusulkan agar kebijakan Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) mencakup bab tentang partisipasi masyarakat dan skema perlindungan sosial adaptif bagi penyintas panti, mengingat banyak penyintas menghadapi penolakan sosial dan kesulitan ekonomi setelah keluar dari panti.

 

Menanggapi hal tersebut, Ibu Linda menekankan pentingnya pembentukan rumah aman (safe house) bagi penyintas sebelum mereka kembali ke masyarakat, serta perlunya edukasi publik dan pengawasan independen terhadap panti-panti agar dapat menjadi tempat yang lebih manusiawi.

 

PJS berharap agar Peraturan Menko PMK tentang TPKJM dapat memperkuat koordinasi lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Bappenas, dan masyarakat sipil, sehingga TPKJM dapat menjadi ujung tombak perubahan bagi penyandang disabilitas mental menuju kehidupan yang merdeka, bermartabat, dan inklusif.

 

    

Indonesia Climate Justice Summit (ICJS) 2025

ICJS 2025 menegaskan: tidak ada keadilan iklim tanpa keadilan disabilitas. Dalam side event “Disability Rights = Climate Justice—Tanpa Inklusi, Tak Ada Keadilan Iklim” yang dihadiri 45 peserta, testimoni lapangan—dari gelombang laut yang kian besar hingga eksklusi disabilitas dari program bantuan—bertemu inisiatif pengorganisasian seperti KODISYA (Korum Disabilitas Angin).

 

Cerita-cerita ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim menggerus penghidupan, akses informasi, dan keselamatan, sekaligus memantik kesadaran kolektif untuk membangun pendidikan komunitas, memperluas jaringan, dan menuntut pelibatan bermakna.

 

Dalam workshop “Perlindungan Sosial—Penyandang Disabilitas” yang dipandu PJS, para narasumber menegaskan perlindungan sosial adalah kewajiban negara dan harus ganda: jaminan sosial dasar yang mencegah kemiskinan kronis serta skema adaptif untuk risiko iklim (bencana, gagal panen, kehilangan kerja). Isu ekstra biaya disabilitas, sulitnya akses BPJS bagi pekerja non-standar, K3 yang tak melindungi, hingga data yang tak terpilah, dipetakan sebagai penghambat utama.

 

Diskusi kelompok merumuskan solusi: data pilah disabilitas, SOP evakuasi inklusif dan latihan mandiri, asuransi iklim berbasis komunitas dengan skema tunai, perumahan pascabencana yang aksesibel, akses energi terjangkau untuk alat bantu, layanan publik tanpa jalur rujukan berbelit, serta partisipasi bermakna OPD dalam setiap tahap mitigasi–adaptasi–resiliensi.

 

Pleno tematik mengikat agenda lintas isu: transisi energi berbasis komunitas dan berkeadilan gender, perlindungan ekosistem darat–pesisir, kota inklusif dan tahan iklim, kedaulatan pangan dari darat hingga laut, ekonomi rendah emisi yang adil, penguatan ruang demokrasi, dan strategi dari akar rumput hingga litigasi.

 

Pada dialog dengan DPD/DPR, delapan subjek terdampak—miskin kota, nelayan, petani, perempuan, disabilitas, buruh, orang muda, dan masyarakat adat—menyerahkan tuntutan spesifik; DPD menyatakan komitmen mendorong RUU Keadilan Iklim ke Prolegnas dengan tujuan adaptasi–mitigasi yang berkeadilan. Kesepakatannya jelas: negara wajib merelokasi anggaran secara spesifik untuk inklusi disabilitas, menulisnya eksplisit dalam RUU, RAN, NDC, dan laporan UNFCCC, serta memastikan perwakilan disabilitas hadir hingga COP30.

 

Pada hari terakhir ICJS 2025, peserta dari delapan subjek terdampak—miskin kota, nelayan, petani, perempuan, penyandang disabilitas, buruh, orang muda, dan masyarakat adat—menggelar aksi jalanan yang berujung di Patung Kuda, Silang Monas. Aksi dipenuhi orasi, testimoni lapangan, dan pembacaan tuntutan yang merangkum hasil dua hari pertemuan: dari perlindungan sosial adaptif–inklusif hingga jaminan partisipasi bermakna dalam setiap kebijakan iklim. Suaranya satu: keadilan iklim harus nyata, inklusif, dan tidak meninggalkan siapa pun.

 

   

 

 

Social Media PJS