Pasung
Pasung
Pepesan Kosong Mengakhiri Bebas Pasung
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Tahun 2013, terdapat 1,7 dari 1.000 penduduk mengalami gangguan jiwa berat, dan 14,3% dari penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat tercatat pernah mengalami pemasungan. Sementara itu, hasil Riskesdas tahun2018, proporsi rumah tangga yang memiliki ART Gangguan Jiwa Schizophrenia/Psikosis yang pernah dipasung sebesar 31,5%dan hanpir terjadi di setiap daerah di Indonesia. Jumlah kasus pemasungan di lapangan kami yakini masih jauh lebih besar karena masih ada yang belum dilaporkan atau disurvei.
Penyandang disabilitas mental (PDM) dianggap sebagaiaib dantidak punya harapan untuk menjalani kehidupan secara normal sehingga tidak jarang diperlakukanbukan sebagai manusia, denganmemasungmereka agar tidak membahayakan dan mengganggu keselamatan diri danlingkungan sekitar, karena ketidakmampuanmereka untukmengidentifikasi resiko bahaya dan mengontrol impuls (dorongan) kemarahan yang dimilikinya.
Pemasungan bisa dilakukan dengan menjepit kaki dengan balok kayu, merantai kaki dan tangan, dikurung dalam kandang, ruangan berjeruji, atau kamar. Pemasungan dapat dilakukan di dalam ataupun di luar rumah, dekat perumahan atau didalam kampung, atau bisa juga tempat terpencil yang relatif jauh dari rumah penduduk. Dalam beberapa kasus PDM ada yangdiikat di alam terbuka tanpa ada perlindungan (atap dan dinding) sama sekali. Orang yang dipasung bisa berada dalam pasungan mulai dari hitungan bulan sampai puluhan tahun. Bahkan ada yang sampai mati dalam pasungan.
Berdasarkan pengamatan kami, penyebab pemasungan tidak hanya karena alasan-alasan medis, tetapi juga terjadi karena pervasive stigma, dan tiadanya dukungan yang memadai bagi PDM dan keluarganya (Human Rights Watch, 2016). Dukungan ini meliputi dukungan finansial, dukungan pendampingan bagi care giver maupun PDM-nya, dukungan pengobatan, dukungan pekerjaan, dukungan pendidikan, dukungan edukasi kepada masyarakat dan lain-lain.
Pemasungan terhadap PDM justru memperburukkondisifisik dankejiwaan mereka karena tidak bisa bersosialisasi dan ilngkungan tidak sehat akibat aktivitas hidup di satu tempat membuat PDM rentan terhadap penyakit. Mereka tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kondisinyakarena stigma lingkungan sekitar dianggap menakutkan dan membahayakan. Anggota keluargadari PDM yang dipasung puntetap menanggung beban psikologis.
Setiap orang berhak mendapatkanperlakuan yang sama untuk semua aspek kehidupan.Pada 2011 IndonesiatelahmeratifikasiConvention on The Rights of Persons with Disabilities(CRPD) melalui Undang Undang Nomer19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).CRPD menjamin hak setarabagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmatihak atas kebebasan dan keamanan, dan bebas daripenyiksaan dan perlakuan buruk.
Jauh sebelumnya Pemerintah melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977sebenarnya sudahmelarang pemasungan di negeri ini.Kemudian tahun 2010 Kementerian Kesehatanpun telahmencanangkan program “Indonesia Bebas Pasung” yang diperkuat dengan pencanangan program “Stop Pemasungan” oleh Kementerian Sosial. Tahun 2017 Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatanmembuat Nota Kesepahaman Bersama (NKB) dengan Nomor 01 Tahun 2017, Nomor HK.03.01/MENKES/28/2017, Nomor 03/MOU/0117, Nomor B/18/II/2017 dan Nomor 440/899/SJ tentang Pencegahan dan Penanganan Pemasungan bagi Penyandang Disabilitas Mental/Orang dengan Gangguan Jiwa. Targetnya pada tahun 2019 Indonesia terbebas dari pasung. Pada kenyataannya, target tersebut belum tercapai.
Kami melihat bahwa pihak-pihak yang dilibatkan dalam program Indonesia Bebas Pasung seperti tercantum dalam NKBtersebut hanya melibatkan5 (lima) kementerian atau lembaga negara. Untuk menyelesaikan persoalan pasung dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan lintas sektoral yang mengharuskan pelibatan kementerian yang lebih banyak, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Pereumahan Rakyat guna menyediakan hunian yang layak dan terjangkau untuk PDM, Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengahuntuk meningkatkan produktivitas ekonomi PDM, Kementerian Tenaga Kerja untuk menjamin hak bekerja PDM, Kementerian Pendidikan untuk menyediakan akomodasi yang layak untuk PDM di sektor pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasionaluntuk penganggaran program-program pembangunan yang melibatkan PDM korban pasung, dll.Keterlibatan kementerian atau lembaga negara lain untuk memfasilitasi mereka agar bisa hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh di dalam masyarakat sesuai dengan Pasal 19 CRPD.
Kami melihat bahwa penyelesaian masalah pasung di Indonesia pendekatannya sangat medical model.Para PDM yang dibebaskandari pasung terpaksa mendekam di rumah sakit jiwaatau panti sosial tanpa persetujuan mereka.Di sana mereka diberikan obat gangguan jiwa. Seolah-olah dengan diberikan obat maka masalah sudah selesai.Observasi kami pada salah satu panti sosial di KabupatenCianjurmenemukan 16dari 50 orang penghuni adalah orang yang dibebaskan dari pasung.Rumah sakit jiwa dan panti sosial masih menjadi muara akhir dalam menyelesaikan persoalan pasung di Indonesia.Skema dalam Peraturan Menteri SosialNomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Pemasungan Bagi Penyandang Disabilitas Mental, terlihat bahwa proses akhir dari penyelesaian pasung merujuk PDM ke rumah sakit jiwa dan panti sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Hal ini terlihatpada bagan berikut ini:
Hal terpenting dalam penyelesaian pemasungan di negeri ini,adalah edukasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai kesehatan mental dan PDM. Selama ini kami fokus terhadap pencegahan pemasungan melalui edukasi agar masyarakat diberikan pemahamanbahwa pemasungan adalah melanggar hak asasi manusia yang mengakibatkan PDMtidak memiliki kesempatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Referensi
Dhian Ika Prihananto, et.al., Faktor Somatogenik, Psikogenik, Sosiogenik yang Merupakan FaktorRisiko Kejadian Skizofrenia Usia < 25 Tahun(Studi di Kecamatan Kopil Kabupaten Wonosobo), Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas3 (2), 68 – 79, 2018.
Dumilah Ayuningtyas, et.al., Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada Masyarakat di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1):1-10, 2018.
Badan {enelitian dan Pengembangan Kesehatan, Laporan Nasional Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan, Jakarta: 2013.
Badan {enelitian dan Pengembangan Kesehatan, Laporan Nasional Riskesdas 2018, Kementerian Kesehatan, Jakarta: 2018.
Human Rights Watch. Hidup di Neraka, Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia (Versi Bahasa Indonesia), Human Rights Watch, USA: 2016.
Mochammad Felkani B dan Isneningtyas Yulianti, HAM Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Sosial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: 2018.
World Health Organization (WHO). Depression. Depression and Other Common Mental Disorders, WHO, Geneva:2017.
Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychosocial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.