Perlindungan Sosial

Pembelajaran Covid-19 Untuk Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas

C:\Users\tito\Desktop\Data Penyandang disabilitas.jpg

 

Kamis, 23 Desember 2021 Kementerian PPN/Bappenas dan didukung oleh MAHKOTA dan AIPJ2 serta berkolaborasi dengan Jaringan DPO Respon Covid Inklusif menyelenggarakan Webinar Hasil Studi Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Penyandang Disabilitas.

 

Menurut Muhammad Joni Yulianto, pada Februari 2021, Jaringan DPO Respon COVID Inklusif melakukan studi kuantitatif tahap 2 di 34 provinsi di Indonesia dengan melibatkan 1.597 responden di seluruh provinsi Indonesia. Hal ini mendapatkan dukungan dari AIPJ maupun mitra pembangunan yang mensukseskan survey ini, Survey ke-2 ini ingin melihat konsistensi dampak pandemi Covid-19 terhadap penyandang disabilitas. 

 

Dalam studi tersebut tergambarkan bahwa pandemi Coviud-19 terhadap penyandang disabilitas. Ketika diputuskan dari pekerjaan, penyandang disabilitas akan lebih sulit mendapatkan pekerjaan baru, ada 21% pekerjaan penyandang disabilitas berubah (bangkrut, di-PHK, keluar karena upahnya diturunkan atau hari kerja). 37,3% pekerja penyandang disabilitas mengalami penurunan pendapatan. Kemudian selama 1 tahun keaadan pandemi Covid tidak ada perbaikan dari sisi pekerjaan penyandang disabilitas, yang pulih jumlahnya hanya 16% (hari kerja). Yang membuat dampak ini berat bagi penyandang disabilitas adalah hambatan mereka sebelum pandemi itu sidah banyak sehingga ketika terjadi guncangan covid-19, kesulitan dan kesenjangan mereka menjadi lebih besar lagi, tukas Sinta Satriana (social protection specialist Mahkota). 

 

Pentingnya ada perlindungan sosial saat pandemi terkihat dari cakupan perlindungan saat pandemi meningkat 2 kali lipat melalui program baru atau peningkatan penerima manfaat dari program yang telah ada. Namun program tersebut sifatnya hanya bantuan sosial, sedikit sekali penerima manfaat program yang menjangkau penyandang disabilitas untuk bekerja (kartu prakerja). 

 

 “Kami berharap dengan assessment ini menjadi rujukan inklusivitas penanganan pandemi dalam hal penanggulangan dampak dan pemulihan”, tukas Ishak Salim (Ketua Perdik).

 

Menurut Mercoledi Nasiir dari Prospera, rumah tangga dengan anggota keluarga yang memiliki disabilitas umumnya memiliki pengeluaran/belanja tambahan (extra cost). Dari data Susesnas Prospera menghitung biaya tambahan penyandang disabilitas per kapita bervvariasi tergantung ragam disabilitas dan tingkat keparahannya. Pengeluaran perkapita penyandang disabilitas rata-rata 19% lebih tinggi daripada non-disabilitas. Namun jika dibagi berdasarkan sektor, pengeluarannya lebih besar di sektor kesehatan, transportasi dan pendidikan. Baiaya tambahan untuk penyandng disabibilitas ini nyata, tukas Mercoledi.

 

Biaya tambahan ini menurut hasil kajian dalam kertas kebijakan Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas yang dikoordinir oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, terdiri dari 8 jenis, yaitu: 1) Pengadaan alat bantu dan perawatannya; 2) Asisten personal (disabilitas berat); 3) Transportasi (modifikasi kendaraan/transportasi khusus/pendampingan dalam perjalanan); 4) Terapi; 5) Obat-obatan rutin; 6) Juru bahasa (disabilitas rungu); 7) Modifikasi tempat tinggal dan 8) Modifikasi software pendukung (screen reader). 

 

Menurut Antony Tsaputra, perwakilan tim perumus kertas kebijakan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, tidak disangkal bahwa perlindungan sosial di daerah sangat vital agar mereka dapat terpenuhi dan terlindungi kehidupan sosial penyandnag disabilitas pada tahun 2020 mencapai 22, 22 juta jiwa. Dari jumlah itu, pada akses perlindungan sosial tercatat hanya 1,07 juta jiwa penyandang disabilitas yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau 5% dari total penerima manfaat (Bappenas, 2021). Kemudian Jumlah dan cakupan penerima manfaat program perlindungan sosial yang ditujukan kepada penyandang disabilitas masih terbatas. Program perlindungan sosial lebih banyak menargetkan kepada rumah tangga miskin. Prioritas penyaluran program perlindungan sosial, terutama yang berbasis bantuan sosial (PBI JKN, PKH, PIP/KIP, KKS, BPNT, dll) masih berbasis data kemiskinan yang merangkum 40% rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah. Sementara itu, penyandang disabilitas termasuk yang telah berusia dewasa banyak yang menumpang tinggal ke rumah sanak keluarganya. Apabila rumah tangga tempat penyandang disabilitas menumpang tidak masuk dalam kategori rumah tangga miskin penerima manfaat, maka penyandang disabilitas tersebut walaupun miskin dan tidak memiliki mata pencaharian, tidak akan terdata sebagai rumah tangga miskin, sehingga berimplikasi pada tidak mendapatkan berbagai program perlindungan sosial berbasis keluarga ini, tukas Antony 

 

Menurut Antony, perlu ada reformasi skema perlindungan sosial Indonesia yang afirmatif bagi pennyandang disabilitas. Beberapa hal yang bisa dilakukan, yaitu:

  1. Menyesuaikan program-program yang sudah ada supaya lebih inklusif;
  2. Menyusun skema manfaat yang ditujukan khusus bagi penyandang disabilitas (disability benefit) seperti: a) Konsesi. Bentuknya berupa pembebasan atau pengurangan biaya listrik, transportasi, air, sewa rumah, pulsa telepon dan internet, makanan, tempat rekreasi, dll. Konsesi ini harus bersifat universal atau tidak tergantung kondisi keparahan dan harus berlaku untuk semua ragam disabilitas, b) Transfer tunai, Bentuknya: tunjangan langsung disabilitas berlaku seumur hidup, tunjangan pengangguran, tunjangan pendapatan, tunjangan perempuan disabilitas yang berkeluarga, tunjangan care giver, dll, c) Layanan langsung, serta program-program pendukung lainnya dengan tetap memperhatikan semua ragam disabilitas dan gender.

 

Untuk itu, menurutnya dalam memastikan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, maka diperlukan:

  1. Revisi: 1) UU No. 11 tahun 2009 Kesejahteraan Sosial dengan memperkenalkan program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas; 2) UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas diantaranya mendorong kewenangan multi sektoral, dan Mendorong pembentukan Tim Percepatan Inklusi Nasional sebagai badan koordinasi lintas kementerian/lembaga di tingkat pusat.
  2. Mempercepat proses pendataan disabilitas yang melekat dengan data kependudukan;
  3. Realisasi penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas yang didalamnya melekat hak untuk mengakses program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas;
  4. Penyediaan Pusat Pelayanan Terpadu Penyandang Disabilitas  yang disediakan di setiap kabupaten/kota sebagai pusat pelayanan dan kordinasi terkait penanganan urusan disabilitas. 

 

Dalam kajian TNP2K tahun 2018 diusulkan rekomendasi terkait mendorong pemberian tunjangan untuk penyandang disabilitas dan keterlibatan pihak swasta memberikan kontribusi dalam sistem perlindungan sosial nasional. Kemudian dalam sistem bantuan sosial TNP2K sangat mendukung coverage penerima manfaat ditingkatkan 40 terbawah ditambah dengan konsesi, tukas Sri Kusumastuti Rahayu (TNP2K).

 

Kantor Staf Presiden mengapresiasi hasil penelitian dan rekomnendasi yang dilakukan oleh jaringan organisasi disabilitas tersebut yang membantu pemerintah baik secara struktural, proses, maupun hasil, agar penyandang disabilitas sebagai subjek yang aktif untuk dikuatkan kapasitasnya dalam menyusun kebijakan di semua bidang, tukas Sunarman Sukamto. 

 

Selain itu, hasil dari kajian/penelitian ini menjadi momentum yang tepat dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional dan Rencna Aksi Daerah Penyandang Disabilitas, tukas Maliki, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Bappenas.

Social Media PJS