Advokasi kita - Perlindungan Sosial

Webinar Series Volume 4; Menggagas Konsesi Sebagai Bentuk Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas

 

 

Webinar Series Volume 4; Menggagas Konsesi Sebagai Bentuk Perlindungan Sosial Penyandang Disabilitas

Hampir 4 tahun setelah disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabbilitas), masih ada beberapa rancangan peraturan turunan UU Disabilitas yang belum disahkan, salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) terkait Konsesi, yang sudah diamanatkan secara tegas dalam Pasal 114 s.d Pasal 116 UU Disabilitas. Namun PP itu tidak kunjung terbentuk. Padahal dalam Pasal 152 UU Disabilitas, pembentukan peraturan pelaksanaan hanya diberikan waktu 2 tahun sejak UU Disabilitas diundangkan. Hal ini lah yang mendasari Koalisi Nasional Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas untuk menyelenggarakan Dignity Webinar Series Vol. 4 dengan mengangkat tema, “Menggagas Konsesi sebagai Bentuk Pelindungan Sosial Penyandang Disabilitas”. Acara diskusi dilaksanakan pada Selasa, 28 Juli 2020 melalui platform Zoom yang dimoderatori oleh Yossa AP. Nainggolan.

Dalam kata sambutannya, Aria Indrawati, ketua Umum Pertuni, menuturkan bahwa untuk mengeluarkan PP tersebut, diperlukan adanya kajian atau penyusunan naskah akademik. Menambahkan yang disampaikan Aria, Yossa menuturkan bahwa pembentukan PP ini masuk dalam Rencana Aksi Hak Asasi Manusia tahun 2019.

Wahyu Utomo dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, menyampaikan bahwa lembaganya sedang melakukan kajian dimana harapannya mendapatkan pola konsesi atau insentif fiskal yang tepat, apakah membuka akses khusus misalnya memperoleh layanan publik atau permodalan atau alat bantu yang minimal, pola intervensinya seperti apa? instrumen fiskal seperti apa? apakah dengan konsesi? atau subsidi? atau pengurangan pajak?. Kita sudah melakukan kajian dari fenomena konsesi di beberapa negara, seperti Australia, Nepal, Filipina, dan negara lain, kita akan modifikasi dan analisis pola instrumen fiskalnya agar ada nilai tambah selain nilai manfaat.

Hasil kajian yang dilakukan Badan Kebijakan Fiskal bahwa ada penyandang disabilitas itu sebagian besar berusia lanjut, berada di tingkat ekonomi yang rendah karena daya serap angkatan kerja yang rendah. Oleh karena itu, tidak setara, maka kebijakan fiskal yang ditujukan kepada penyandang disabilitas itu bersifat affirmative. Ketika diberikan akses yang sama dengan masyarakat lain, extra cost-nya akan meningkat bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas yang miskin dapat mendapatkan tambahan kompensasi dari extra cost yang timbul. Kebijakan yang dikeluarkan harapannya agar implementatif. “Kami punya komitmen menyusun PP tersebut, namun perlu kajian terlebih dahulu. Prinsipnya kita akan koordinasi di internal dulu, ada Dirjen Anggaran, ada badan kebijakan fiskal, dan lain sebagainya, belum jelas siapa yang menjadi leading sector-nya”, tukas Wahyu Utomo.

Diah Larasati, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) memaparkan konsesi dalam kaitan social protection. Sejak 2018 TNP2K memiliki impian untuk memberikan rekomendasi perlindungan sosial bagi semua (semua kelompok usia). Perlindungan sosial ada 2 skema: pelindungan kontribusi Jaminan sosial, dan skema bantuan sosial. Untuk bantuan sosial itu harus tepat sasaran agar tidak jatuh kepada kerentanan kemiskinan. Untuk kontribusi jaminan sosial seperti JKN, ada yang dibiayai pemerintah dan ada yang mandiri. Selain memberikan dana transfer, para penyandang disabilitas juga mendapatkan konsesi lain seperti insentif potongan harga ketika mengakses fasilitas publik.

Ketika suatu rumah tangga yang memiliki disabilitas akan menimbulkan extra cost, di Indonesia sendiri masih melakukan kajian berapa sih biaya tambahan yang harus dibayarkan keluarga. Kalau studi negara lain diperkirakan sekitar 30%. “Namun dari hasil analisis kami berdasarkan data Susenas sekitar 9%”, tutur Diah.

Lebih dari dua puluh tiga juta penyandang disabilitas rentan memperoleh perlindungan akses, sepert Bansos dan jaminan sosial tadi (30% penyandnag disabilitas yang bisa akses terhadap JKN). Rekomendasi TNP2K, yaitu:

1.    Cakupan atau jangkauan harus diperluas, untuk penyandang disabilitas, Lansia, dan anak;

2.    Perlindungan sosial itu harus inklusif dan sepanjang hayat;

3.    Ke depannya mekanisme administrasi perlindungan sosial harus sederhana;

4.    Bantuan sosial penyandang disabilitas diusulkan ditambah programnya dengan melihat kemampuan fiskalnya.

Yeni Rossa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat menanggapi paparan 2 narasumber terkait konsesi dalam sudut pandang UU Disabilitas. Sebagai penyandang disabilitas memiliki masalah yang berat, kesulitan akses pendidikan, sehingga sulit akses atas pekerjaan dan akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan. Berdasarkan hasil data Pusdatin Kementerian Sosial, penyandang disabilitas yang tidak tamat SD jumlahnya banyak, mereka sebagian besar tidak bekerja, dan kalau bekerja pun sebagian besar di sektor informal seperti pertanian.

Disability extra cost adalah biaya tambahan yang tidak dialami oleh orang-orang non-disabolitas. Makin lama biayanya makin bertambah. “Saya disabilitas psikososial, biaya obatnya tidka ter-cover oleh BPJS Kesehatan. Hal yang sama dengan diabilitas fisik, sulit akses transportasi umum sehingga harus menggunakan layanan ojek online”, tutur Yeni Rossa. Ada beberapa penelitian yang menyatakan disability extra cost di Vietnam itu mencapai US$600 dalam 1 tahun, sedangkan di negara maju lain bisa mencapai US$1170 s.d 6000 pertahun. Affirmnative action-nya adalah pemberian potongan harga sedikit men-balance-kan pengeluaran penyandang disabilitas. “Extra cost disability ini jangan dihilangkan ketika penyandang disabilitas bekerja karena pendapatan mereka setara dengan upah minimum regional dan harus terbebani biaya tambahan karena disabilitas”, tukas Yeni Rossa.

Konsesi kereta di Indonesia itu untuk anggota TNI/Polri, Lansia, peserta didik. Namun penyandang disabilitas belum masuk. Kartu JaKarta Pintar ini sebagai bentuk konsesi, konsesi transportasi (gratis naik transjakarta) dan konsesi pangan (mendapatkan 5 kg beras dengan harga beli Rp.30000, daging sapi per kg hanya 35000, dan lain sebagainya). Namun penyandang disabilitas yang menjadi bagian dari Kartu Jakarta Pintar itu peserta didik disabilitas miskin, harusnya semua peserta didik disabilitas mendapatkannya, tidak perduli kaya atau miskin. Kemudian Rusunawa harga sewanya Rp.300.000, Rusunawa baru menargetkan korban gusuran, “kita berharap cakupannya bisa meliputi penyandnag disabilitas”, tukas Yeni.

Menurut Yeni Rossa, konsesi ini bukan barang baru, transportasi merupakan hal yang standar bagi konsesi. Layanan social protection ini sangat erat dengan kartu penyandang disabilitas yang harus diberikan kepada seluruh penyandang disabilitas, agar mereka bisa mengakses konsesi, jangan sampai kartu penyandang disabilitas ini diberikan hanya kepada penyandang disabilitas miskin saja.

“Penekanan saya konsesi untuk penyandnag disabilitas sebagai kompensasi dari disability extra cost. Saya tidak setuju kosensi ini sebaiknya tidak di Kementerian Sosial, sudah tepat jika di Kementerian Keuangan bersama-sama Bappenas. Pemahaman Kementerian Sosial atas perlindungan sosial bagi penyandnag disabilitas belum nyandak atau belum sampai, khawatir kalau konsesi ini mundur kalau konsesi dibawah Kementerian Sosial”, tukas Yeni Rossa.

Lily Puspitasari menyampaikan pertanyaan, apakah konsesi bisa diusahakan meringankan bunga depositi di masa depan?. Menurut Wahyu Utomo, itu bisa dimungkinkan saja, ketika meringankan beban, menambah manfaat, dan meningkatkan akses. Kalau kebijakan tersebut mau diimpelemntasikan harus sesuai dengan profil penyandang disabilitas.

Maulani Rotinsulu dari HWDI terinspirasi dari paparan narasumber, dia mempertegas lagi bahwa UU Disabilitas tidak secara eksplisit mengamatkan urusan penyandang disabilitas ini urusan multi sektor, bukan hanya ranah kementerian sosial saja. Maulani bertanya terkait program TNP2K itu kan sudah menjadi program Kementerian Sosial yang sifatnya afirmasi untuk mengejar ketertinggalan, apakah juga bisa kemudian program perlindungan sosial ini diintegrasikan dalam konsesi ini?

Diah Larasati menanggapi bahwa TNP2K tugasnya memberikan rekomendasi perbaikan program kementerian atau lembaga negara, Untuk program perlindungan sosial sebagian dilaksanakan Kementerian Sosial, dan untuk program khusus untuk disabilitas kecil jangkauannya. Perlu lebih lagi komitman Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan cakupan program bagi mereka. Wahyu Utomo pun memberikan penjelasan tambahan bahwa bagaimana me-reform perlindungan sosial, konsesi ini diintegrasikan dalam perlindungan sosial, namun masalahnya adalah data, perlu diperbaiki dan updated akurasinya. Kemudian masalah berikutnya berkaitan dengan mekanisme penyaluran yang tidak by name by address, programnya banyak yang tidak saling menguatkan.

Yeni Rossa Menambahkan pernyataan bahwa konsesi ini pendaftarannya aktif, ketika belum terdaftar maka bisa langsung mendaftar, tidak perlu by name by address. Jadi ini bisa jadi solusi karena manfaatnya terasa, jadi tidak terlalu rumit asalkan ada komitmen dari pemberi layanan. “Saya harap Kementerian Keuangan bisa melanjutkan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah terkait konsesi”, tutur Yeni Rossa Damayanti.

Pidi Mulyana menyampaikan bahwa paparan ibu Yeni Rossa lebih Jakarta Oriented. Berbeda dengan daerah tempat tinggalnya di Kabupaten Piddie, Provinsi nanggroe Aceh Darusslam,  dimana konsep yang dibicarakan akan berbeda dengan yang terjadi di Piddie, ketika mendapatkan konsesi akan tidak bermanfaat baginya. Transportasi di Piddie tidak ada sehingga harus didampingi istrinya. Jadi perlu peninjauan ulang dengan studi kasus di daerah terpencil. Yeni Rossa Damayanti menanyakan konsesi yang dibutuhkan Pidi itu seperti apa? Kemudian Pidi Mulyana menjawab konsesi di Aceh itu belum ada. Menurut Yeni Rossa, konsesi di Indonesia baru ada di Jakarta saja.

Erlina Marlinda penyandang disabilitas yang tinggal di Banda Aceh sependapat dengan Fidi, bahwa kebutuhan konsesi di setiap daerah pasti berbeda. Paling mungkin konsesi di daerah seperti berkaitan dengan potongan biaya air, listrik, dan biaya pendidikan.

Poin penting konsesi menurut Yeni Rossa Damayanti itu prinsipnya adalah potongan harga yang harus terasa langsung manfaatnya.  Insentif ini tidak hanya keringanan pajak saja, tapi bisa juga kemudahan dalam tender di lembaga pemerintah ketika mempekerjakan penyandang disabilitas.

Aria Indrawati berpesan bahwa dalam penyusunan RPP Konsesi ini melibatkan masyarakat dan organisasi penyandnag disabilitas. Dia menggarisbawahi bahwa mari kita sebaiknya jangan men-support Kementerian Keuangan yang menjadi inisiator RPP tersebut karena RPP ini menjadi mandatori Kementerian Keuangan pada tahun 2017.

Social Media PJS