Panti
Hukum
Polemik Legal Capacity Penyandang Disabilitas Mental
Penyandang Disabilitas Mental (PDM) memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di hadapan hukum dan hak sebagai subyek hukum. Namun masyarakat beranggapan PDM tidak memiliki kecakapan hukum sehingga anggota keluarga atau bahkan orang lain dapat dengan mudah men-ssubstitute segala keputusan yang seharusnya dilakukan oleh PDM (perwalian atau guardianship).
Pengampuan dilakukan baik secara formal melalui pengadilan, maupun secara informal atau tanpa melalui proses peradilan. Fenomena ini sudah menjadi praktik kebiasaan di masyarakat, dan celakanya diterima sebagai kebenaran. Akibatnya PDM harus kehilangan hak-haknya termasuk ketika harus dibawa ke rumah sakit jiwa atau panti sosial tanpa persetujuan PDM yang bersangkutan. Padahal anggota keluarga atau bahkan orang lain tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai pengampu yang sah oleh pengadilan, dan PDM tersebut juga tidak pernah dinyatakan tidak cakap secara hukum. Mereka tinggal puluhan tahun terkurung tanpa ada kejelasan kapan bisa keluar. Jika keluarga menginginkan, PDM bisa dipenjara didalam panti seumur hidupnya. Dalam proses pengobatannya pun PDM tidak memiliki kecakapan hukum untuk menentukan sendiri keinginan dan preferensinya.
Pekerjaan
“Melawan Hambatan Penyandang Disabilitas Mental untuk Memperoleh Pekerjaan”
Setiap orang berpotensi menjadi disabilitas, bukan hanya karena kelainan dalam kandungan, namun bisa terjadi karena kecelakaan, dan bencana alam (Latief, 1999: 40). Jumlahnya diperkirakan sekitar 21,84 juta jiwa atau 8,56% dari populasi penduduk Indonesia (BPS, 2015), lebih dari 70%-nya merupakan penduduk usia kerja (LPEM FEB UI, 2017). Menurut United Nations Enable, yang dikutif Larson (2014; 222) sekitar 80% penyandang disabilitas usia produktif di negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pekerjaan.
Penyandang disabilitas kesulitaan mendapatkan kesempatan bekerja karena stigma yang masih melihat mereka penuh dengan ketidakmampuan secara medis, atau dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan pertolongan. Padahal mereka memerlukan pekerjaan untuk alasan mencari nafkah, memanfaatkan keterampilan mereka, dan memberikan kontribusi kepada masyarakat yang lebih baik (Butler, Crudden, & Sansing, 2005).ecara hukum konstitusi Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara jelas menjamin hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi seluruh warga negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat (2), yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Pengaturan lebih lanjut sebagai pengejahwantahan hak mendapat pekerjaan yang layak seperti diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu dalam Pasal 5 menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan.”
Kemudian Pasal 27 ayat (1) huruf h Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang kemudian diratifikasi dan diundangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), menyebutkan pentingnya tindakan afirmatif terutama pada sektor tenaga kerja. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa tindakan afirmatif pada sektor pekerjaan berlandaskan pada asas kesetaraan dengan orang lain (non-disabilitas) agar penyandang disabilitas dapat sejajar dengan non-disabilitas.
Namun pada kenyataannya Kami menemukan pemerintah Indonesia secara sistematis dan terstruktur melakukan diskriminasi secara terang-terangan (blatant discrimination) terhadap pentandang disabilitas khususnya Penyandang Disabilitas Mental (PDM) terkait hak atas pekerjaan. Diskriminasi ini salah satunya berbentuk persyaratan sehat jasmani dan rohani. Selain itu, Pemerintah juga membiarkan pihak swasta untuk melakukan diskriminasi berdasarkan disabilitas terhadap pencari kerja.
Surat sehat jasmani dan rohani adalah surat yang dikeluarkan oleh lembaga pelayanan kesehatan untuk membuktikan bahwa pemegang surat tidak memiliki masalah
Ketimpangan Akses Terhadap Peradilan Yang Adil Bagi Penyandang Disabilitas Mental
Penyandang Disabilitas Mental (PDM) cenderung mengalami secondary victimization dan sistem hukum Indonesia masih sangat minim mengakomodir kebutuhan khusus PDM, serta perlakuan yang adil bagi mereka. Berdasarkan hasil pendataan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat terhadap hasil putusan kasus pidana yang melibatkan PDM sebagai pelaku, saksi dan korban periode 2011 s.d 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa dari 78 perkara persidangan PDM yang berstatus terdakwa, hanya 29 perkara yang menghadirkan psikiater, 8 perkara menghadirkan psikolog, 13 perkara menghadirkan dokter umum. Sementara itu, dari 36 perkara persidangan PDM yang berstatus saksi atau korban, hanya 7 perkara yang menghadirkan psikiater, 3 perkara yang menghadirkan psikolog, dan 2 perkara menghadirkan dokter umum. Dari penelitian Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat dari 2011 – 2018, ada 30,25% terdakwa PDM yang tidak didampingi penasihat hukum.
Kami bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil pernah mendampingi Rodrigo Gularte, terpidana mati asal Brazil yang telah lama mengidap skizofrenia dan bipolar disorder. Rodrigo ditangkap bersama dua orang lainnya di bandara dengan tuduhan penyelundupan narkoba. Dua orang rekan Rodrigo menimpakan seluruh kesalahan kepada Rodrigo. Akhirnya dua orang rekan ini dipulangkan ke Brazil begitu saja tanpa proses pengadilan, sementara Rodrigo ditahan, disidang, dipenjara selama belasan tahun, dan akhirnya dieksekusi mati pada tahun 2015. Selama masa persidangan, Rodrigo tidak mendapat pendampingan hukum yang efektif, dan tidak mendapatkan akomodasi yang layak termasuk tidak ada pemeriksaan dari psikiater, tidak dihadirkan keterangan saksi ahli tentang kondisi kejiwaannya, akibatnya Rodrigo mendapatkan hukuman maksimal yaitu hukuman mati.
Kasus Rodrigo dan data-data yang dihimpun oleh LBH Masyarakat di atas menunjukkan bahwa akomodasi yang layak kepada penyandang disabilitas mental ketika berhadapan dengan hukum masih jauh dari kata layak. Kondisi demikian dapat berakibat fatal seperti yang terjadi pada Rodrigo Gulater. Hal ini bertentangan dengan amanat Pasal 13 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) bahwa Negara-negara pihak harus menjamin akses yang efektif terhadap keadian bagi penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, termasuk melalui pengaturan akomodasi secara prosedural dan sesuai dengan usia, dalam rangka memfasilitasi peran efektif penyandang disabilitas sebagai partisipan langsung maupun tidak langsung, termasuk sebagai saksi, dalam semua persidangan, termasuk dalam penyyidikan dan tahap-tahap awal lainnya.
Oleh karena itu, saat ini kami sedang mengawal pembentukan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Akomodasi Yang Layak Dalam Proses Peradilan. kami juga dalam berbagai kesempatan mengedukasi aparatur negara khususnya apparat penegak hukum agar memiliki pengetahuan tentang PDM dan kedisabilitasan sehingga kebijakan yang diambil tidak berdampak pada penghilangan dan/atau pengurangan hak terkait: 1) Melakukan pengaduan; 2) Mendapat ahli, psikiater, psikolog, dokter, dan pekerja sosial; 3) Diperiksa oleh penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim yang memahami masalah disabilitas mental; 4) Mendapatkan pertanyaan yang tidak menjerat atau merendahkan mereka; 5) Diberitahu perkembangan kasus yang sedang ditangani penyidik, jaksa, maupun hakim; dan 6) Mendapatkan perawatan saat berada di penjara atau lembaga pemasyarakatan.
REFERENSI
Hari Kurniawan, et.al., Aksesibilitas Peradilan Bagi Penyandang Disabilitas, Pusham UII, Yogyakarta: 2015.
M. Syafi’ie, Potret Disabel berhadapan dengan Hukum Negara, Sigab, Yogyakarta: 2014.
Supriyadi Widodo Eddyono dan Ajeng Gandini Kamilah, Aspek-Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta: 2015
Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychosocial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.
Yosua Octavian dan Albert Wirya, Situasi Pemenuhan Hak Asasi Orang dengan Gangguan Jiwa dalam Sistem Peradilan Pidana. LBH Masyarakat, Jakarta: 2018.
Pemilu
Silahkan lihat di link berikut : Himbuan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Tentang Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Dalam Pemilihan Umum 2019
Pepesan Kosong Mengakhiri Bebas Pasung
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Tahun 2013, terdapat 1,7 dari 1.000 penduduk mengalami gangguan jiwa berat, dan 14,3% dari penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat tercatat pernah mengalami pemasungan. Sementara itu, hasil Riskesdas tahun2018, proporsi rumah tangga yang memiliki ART Gangguan Jiwa Schizophrenia/Psikosis yang pernah dipasung sebesar 31,5%dan hanpir terjadi di setiap daerah di Indonesia. Jumlah kasus pemasungan di lapangan kami yakini masih jauh lebih besar karena masih ada yang belum dilaporkan atau disurvei.
Penyandang disabilitas mental (PDM) dianggap sebagaiaib dantidak punya harapan untuk menjalani kehidupan secara normal sehingga tidak jarang diperlakukanbukan sebagai manusia, denganmemasungmereka agar tidak membahayakan dan mengganggu keselamatan diri danlingkungan sekitar, karena ketidakmampuanmereka untukmengidentifikasi resiko bahaya dan mengontrol impuls (dorongan) kemarahan yang dimilikinya.
Pemasungan bisa dilakukan dengan menjepit kaki dengan balok kayu, merantai kaki dan tangan, dikurung dalam kandang, ruangan berjeruji, atau kamar. Pemasungan dapat dilakukan di dalam ataupun di luar rumah, dekat perumahan atau didalam kampung, atau bisa juga tempat terpencil yang relatif jauh dari rumah penduduk. Dalam beberapa kasus PDM ada yangdiikat di alam terbuka tanpa ada perlindungan (atap dan dinding) sama sekali. Orang yang dipasung bisa berada dalam pasungan mulai dari hitungan bulan sampai puluhan tahun. Bahkan ada yang sampai mati dalam pasungan.
Berdasarkan pengamatan kami, penyebab pemasungan tidak hanya karena alasan-alasan medis, tetapi juga terjadi karena pervasive stigma, dan tiadanya dukungan yang memadai bagi PDM dan keluarganya (Human Rights Watch, 2016). Dukungan ini meliputi dukungan finansial, dukungan pendampingan bagi care giver maupun PDM-nya, dukungan pengobatan, dukungan pekerjaan, dukungan pendidikan, dukungan edukasi kepada masyarakat dan lain-lain.
Pemasungan terhadap PDM justru memperburukkondisifisik dankejiwaan mereka karena tidak bisa bersosialisasi dan ilngkungan tidak sehat akibat aktivitas hidup di satu tempat membuat PDM rentan terhadap penyakit. Mereka tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kondisinyakarena stigma lingkungan sekitar dianggap menakutkan dan membahayakan. Anggota keluargadari PDM yang dipasung puntetap menanggung beban psikologis.
Setiap orang berhak mendapatkanperlakuan yang sama untuk semua aspek kehidupan.Pada 2011 IndonesiatelahmeratifikasiConvention on The Rights of Persons with Disabilities(CRPD) melalui Undang Undang Nomer19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).CRPD menjamin hak setarabagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmatihak atas kebebasan dan keamanan, dan bebas daripenyiksaan dan perlakuan buruk.
Jauh sebelumnya Pemerintah melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977sebenarnya sudahmelarang pemasungan di negeri ini.Kemudian tahun 2010 Kementerian Kesehatanpun telahmencanangkan program “Indonesia Bebas Pasung” yang diperkuat dengan pencanangan program “Stop Pemasungan” oleh Kementerian Sosial. Tahun 2017 Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kepolisian Republik Indonesia, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatanmembuat Nota Kesepahaman Bersama (NKB) dengan Nomor 01 Tahun 2017, Nomor HK.03.01/MENKES/28/2017, Nomor 03/MOU/0117, Nomor B/18/II/2017 dan Nomor 440/899/SJ tentang Pencegahan dan Penanganan Pemasungan bagi Penyandang Disabilitas Mental/Orang dengan Gangguan Jiwa. Targetnya pada tahun 2019 Indonesia terbebas dari pasung. Pada kenyataannya, target tersebut belum tercapai.
Kami melihat bahwa pihak-pihak yang dilibatkan dalam program Indonesia Bebas Pasung seperti tercantum dalam NKBtersebut hanya melibatkan5 (lima) kementerian atau lembaga negara. Untuk menyelesaikan persoalan pasung dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan lintas sektoral yang mengharuskan pelibatan kementerian yang lebih banyak, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Pereumahan Rakyat guna menyediakan hunian yang layak dan terjangkau untuk PDM, Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengahuntuk meningkatkan produktivitas ekonomi PDM, Kementerian Tenaga Kerja untuk menjamin hak bekerja PDM, Kementerian Pendidikan untuk menyediakan akomodasi yang layak untuk PDM di sektor pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasionaluntuk penganggaran program-program pembangunan yang melibatkan PDM korban pasung, dll.Keterlibatan kementerian atau lembaga negara lain untuk memfasilitasi mereka agar bisa hidup secara mandiri dan berpartisipasi penuh di dalam masyarakat sesuai dengan Pasal 19 CRPD.
Kami melihat bahwa penyelesaian masalah pasung di Indonesia pendekatannya sangat medical model.Para PDM yang dibebaskandari pasung terpaksa mendekam di rumah sakit jiwaatau panti sosial tanpa persetujuan mereka.Di sana mereka diberikan obat gangguan jiwa. Seolah-olah dengan diberikan obat maka masalah sudah selesai.Observasi kami pada salah satu panti sosial di KabupatenCianjurmenemukan 16dari 50 orang penghuni adalah orang yang dibebaskan dari pasung.Rumah sakit jiwa dan panti sosial masih menjadi muara akhir dalam menyelesaikan persoalan pasung di Indonesia.Skema dalam Peraturan Menteri SosialNomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Pemasungan Bagi Penyandang Disabilitas Mental, terlihat bahwa proses akhir dari penyelesaian pasung merujuk PDM ke rumah sakit jiwa dan panti sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Hal ini terlihatpada bagan berikut ini:
Hal terpenting dalam penyelesaian pemasungan di negeri ini,adalah edukasi berkelanjutan kepada masyarakat mengenai kesehatan mental dan PDM. Selama ini kami fokus terhadap pencegahan pemasungan melalui edukasi agar masyarakat diberikan pemahamanbahwa pemasungan adalah melanggar hak asasi manusia yang mengakibatkan PDMtidak memiliki kesempatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Referensi
Dhian Ika Prihananto, et.al., Faktor Somatogenik, Psikogenik, Sosiogenik yang Merupakan FaktorRisiko Kejadian Skizofrenia Usia < 25 Tahun(Studi di Kecamatan Kopil Kabupaten Wonosobo), Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas3 (2), 68 – 79, 2018.
Dumilah Ayuningtyas, et.al., Analisis Situasi Kesehatan Mental Pada Masyarakat di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(1):1-10, 2018.
Badan {enelitian dan Pengembangan Kesehatan, Laporan Nasional Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan, Jakarta: 2013.
Badan {enelitian dan Pengembangan Kesehatan, Laporan Nasional Riskesdas 2018, Kementerian Kesehatan, Jakarta: 2018.
Human Rights Watch. Hidup di Neraka, Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia (Versi Bahasa Indonesia), Human Rights Watch, USA: 2016.
Mochammad Felkani B dan Isneningtyas Yulianti, HAM Penyandang Disabilitas Mental di Panti Rehabilitasi Sosial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: 2018.
World Health Organization (WHO). Depression. Depression and Other Common Mental Disorders, WHO, Geneva:2017.
Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychosocial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.