Berita Covid19

Webinar Penyandang Disabilitas Penyintas Covid-19

Webinar Penyandang Disabilitas Penyintas Covid-19: Rekomendasi Aksi Demi Inklusi

Selasa 7 Juli 2020 Yeni Rossa Damayanti diundang sebagai narasumber webinar XVII yang diselenggarakan oleh Sejajar, CBM, dan ASB, dengan mengangkat tema “Penyandang Disabilitas Penyintas Covid-19: Rekomendasi Aksi Demi Inklusi”.Ada 6 narasumber yang dihadirkan dalam webinar, dengan moderator, Cucu Sadiah dari CBM Indonesia.

Pada sesi awal para peserta disajikan gambaran mengenai konsep dan realita yang dialami penyandang disabilitas. Dalam paparannya Serafina Bete (Persani NTT) menggambarkan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas disamakan orang tidak mampu, tidak berkembang, butuh bantuan, tidak normal, orang cacat. Masyarakat melihat penyandang disabilitas dari kekurangan secara fisik bukan dari kemampuannya. Sebenarnya mereka sama, tidak ada perbedaan. Mereka setara dengan manusia pada umumnya, sama-sama memiliki hak. Disabiloitas ini artinya hambatan, dan bisa dihilangkan oleh kita semua, termasuk oleh mereka itu sendiri. Untuk menghilangkan hambatan ini harus ada upaya program penyediaan aksesibilitas untuk mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas, termasuk dalam perlindungan dari bencana. Ketika terjadi bencana, penyanndang disabilitas mengalami hambatan diantaranya akses atas informasi dan bantuan.

Setelah diterangkan mengenai konsep disabilitas, Laura L. Wijaya, aktivis tuli dan ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia, menambahkan materi terkait hambatan yang dialami penyandang disabilitas khususnya penyandang disabilitas rungu. Ada dua metode yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas rungu, yaitu bahasa isyarat atau tulisan. Namun masyarakat masih kesulitan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat. Masyarakat justru berkomunikasi dengan penyandang disabilitas rungu dengan intonasi suara keras padahal itu bukan menjadi solusi terlebih saat pandemi Covid-19 masyarakat menggunakan masker sehingga penyandang disabilitas rungu kesulitan membaca bahasa bibir dari lawan bicara. Saat ini kondisinya sudah lebih baik, di media televisi sudah ada bahasa isyarat atau pun ada teks tulisan Bahasa Indonesia yang ditayangkan.

Hambatan tidak hanya dialami oleh penyandang disabilitas rungu, namun juga dialami oleh penyandang disabilitas mental dan Lansia. di Jakarta saja ada sekitar 3500 penyandang disabilitas mental dan 1500 Lansia yang terkurung di panti sosial yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Perkiraan UN Desa memperkirakan tahun 2017 sekitar 13% penduduk dunia adalah Lansia dan dari jumlah itu, 44% penyandnag disabilitas. Saat terjadi Covid-19 memiliki dampak yang signifikan terhadap penghuni panti, pada Mei 2020 di Eropa ada sekitar 45 - 57% resiko kematian dialami penghuni. World Street Journal menyatakan data kematian di Panti Jompo menyumbang sekitar 40% kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat. Nah bagaimana kondisi di Indoensia? Yeni Rossa Damayanti mengambil contoh panti yang orang sering sebut panti gangguan orang jiwa, Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentoasa 1 itu dalam 1 ruangan berisi seperti ‘sarden’ diisi oleh 30 orang. Bahkan di panti-panti orang gila umumnya ada legalitas praktek pasung, tidak ada layanan kesehatan. Masalah utama dari dampak Covid-19 terhadap mereka di Indoensia adalah pendataan panti-panti. Jumlah kematian tidak dilaporkan sehingga sulit diketahui dampak dari Covid-19 terhadap mereka. Apa yang harus dilakukan? 1) Pendataan panti sosial; 2) Melaksanakan pencegahan, termasuk didalamnya rapid test. Juni 2020 Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) bekerja sama dengan Halodoc, CBM, dan Standard Chartered Bank melakukan rapid test terhadap panti-panti.

Edy Supriyanto (SEHATI) berbagi pengalaman dari apa yang dilakukan organisasinya di Sukoharjo dalam merespon Covid-19. Organisasi SSEHATI melihat ada kebutuhan fasilitasi dampak sehingga dibentuk Posko untuk penyandang disabilitas, kelompok rentan, dan Lansia yang belum terdata dalam program respon Covid-19 Pemerintah dan Pemerintah Daerah sehingga tidak terjangkau dari bantuan. Rata-rata bantuan Pemerintah masih berupa Sembako, padahal ada kelompok Lansia dan anak tidak bisa mengkonsumsi bantuan. Posko ini menyebarluaskan media komunikasi, edukasi dan informasi kepada mereka yang beum terjangkau oleh media. Pada awal perjalanannya Posko melakukan pendataan terhadap mereka yang terdampak Covid-19 (pendataan dari rumah ke rumah berdasarkan kartu keluarga. Selain itu data berdasarkan pada pengaduan). Setelah itu dilakukan penggalangan bantuan, dana terkumpul digunakan untuk pemberdayaan terhadap mereka. Selain itu, Posko juga melakukan penyertaan dukungan bantuan psikososial terhadap mereka atas ketakutan keluar rumah.

Terkait masalah data ini, Kasihan (Komunitas Difabel Warsamundung Magelang) berbagi informasi mengenai metode pengumpulan data yang digunakan sebagai bukti advokasi disabilitas selama Covid-19 di Magelang. Data merupakan sebuah kunci inklusi. Oleh karena itu, yang dilakukan organisasinya berbarengan dengan upaya advokasi mendorong pemerintah desa untuk berpihak terhadap penyandang disabilitas. Dalam setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah desa sekaligus mendata dan memancing perhatian pemerintah desa. Belajar dari apa yang dialami, data itu harus dibuat sedini mungkin untuk melaksanakan setiap kegiatan. Data harus dikelola sendiri dan disinkronkan dengan pihak lain agar penentuan kebijakan bisa searah.

Ary Ananta (ASB) merangkum materi yang dipaparkan 5 narasumber berdasarkan standar Sphere. Ada beberapa indikator komitmen yang berkaitan dengan apa yang ada dalam standar kemanusiaan inklusi untuk penyandang disabilitas, diantaranya komitmen atas respon tanggung jawab, prinsip pemberian bantuan berdasarkan kemanusiaan; Kemudian indikator komitmen atas ketepatan waktu; komitmen pola komunikasi dan umpan balik dalam bentuk layanan penerimaan pengaduan; Indikator lainnya terkait komitmen koordinasi; Komitmen keenam terkait sumber daya manusia dalam merespon protokol Covid-19 dan new normal. Standar kemanusiaan Sphere iinklusi Lansia dan Disabilitas ini memiliki 7 sektor teknis, diantaranya: pendidikan, nutrisi, perlindungan, partisipasi dan penguatan, dll.

Setelah pemaparan dari 6 narasumber, ada beberapa pertanyaan yang ditujukan ke Yeni Rossa Damayanti, terkait solusi home care sebagai alternatif panti?, sumber data panti selain dari dinas sosial? Dan keterlibatan penyandang disabilitas mental dalam rencana aksi Covid-19? Menurut Yeni Rossa, Home care adalah solusi terbaik daripada panti. Data panti ada di banyak tempat, harus ditanyakan ke setiap pemerintah kabupaten atau kota. Terkait perencanaan, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) sebagai lembaga advokasi penyandang disabilitas mental sedang mendorong data terpadu panti sosial khususnya panti swasta. PJS fokus pada advokasi isu panti ini menjadi penanganan pandemi Covid-19, namun kementerian sosial masih berpandangan pada bantuan sosial atau belum memiliki skema dalam perlindungan atau pencegahan penularan Covid-19 di panti.

Di akhir acara para peserta diminta oleh panitia untuk memberikan penilaian atas pelaksanaan webinar dan usulan tema atau topik yang harus dibahas dalam webinar. Dalam webinar ke XVIII atau pada 14 Juli akan mengangkat tema Pilkada yang aman dan adil dalam kmteks Covid-19, dan pada webinar XIX tanggal 21 Juli bertemakan new normal dalam implementasi dunia pendidikan.

Social Media PJS