Tanggapan dan Pernyataan Sikap Perhimpunan Jiwa Sehat Menanggapi Berbagai Narasi Tentang “Orang Gila Kebal Covid-19”
Merebaknya pandemi Covid-19 (coronavirus disease 2019) yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 menimbulkan beragam reaksi dari masyarakat. Sejak diumumkannya kasus pertama di Indonesia pada awal bulan Maret 2019, media sosial dipenuhi oleh konten dengan tema Covid-19. Para influencer/penyedia konten berlomba-lomba membuat narasi untuk mencurahkan perhatian dan pemikirannya. Tidak ketinggalan diantaranya adalah konten-konten “jenaka” dan analisa serta narasi yang mungkin dibuat untuk menghibur khalayak. Namun demikian amat disayangkan bahwa beberapa konten tersebut dibuat dengan mengabaian fakta, etika, rasa kepedulian dan solidaritas sosial yang justru amat diperlukan untuk menghadapi situasi pandemi seperti sekarang ini. Salah satu konten tersebut seperti dapat dilihat pada gambar di atas menampilkan seorang tuna wisma yang oleh pembuat konten dilabeli sebagai ‘Orang Gila’. Label tersebut mungkin didasari pada penilaian Sang Penulis tentang kondisi kesehatan mental subyek dalam foto yang sama sekali tidak mencantumkan sumber gambar, fotografer, lokasi, dan keterangan lainnya.
Konten tersebut sepintas bernada positif karena mencoba memberikan argumentasi bahwa: “Orang Gila jarang sekali sakit karena kehidupannya selalu Bahagia dan tidak pernah peduli dengan hal-hal sekitarnya. Inilah yang membuat tubuhnya jauh lebih sehat dibandingkan orang waras pada umumnya.” Demikian kutipan kalimat dalam caption posting akun Instagram @pediayuks.
Tentunya argumentasi serampangan seperti yang disampaikan oleh admin akun tersebut tidak benar karena pada kenyataanya mereka yang menggelandang di jalan ataupun mereka yang ditampung di panti-panti sosial pemerintah maupun swasta justru mengalami kerentanan terpapar penyakit menular yang cukup tinggi. Sejumlah pengamatan dan penelitian menunjukan bahwa orang dengan disabilitas mental yang tinggal di jalanan dan beberapa panti sosial justru lebih rentan terpapar penyakit. Hal tersebut disebabkan terutama oleh sanitasi yang buruk, asupan gizi yang tidak layak, kebersihan diri dan lingkungan yang tidak terjaga, pemasungan serta kerapatan populasi yang cukup tinggi. Kondisi rentan itu juga disebabkan karena selama ini mereka memang relatif tidak terjangkau oleh layanan kesehatan akibat stigma negatif, diskriminasi dan penelantaran. Karenanya, narasi yang coba dibangun tentang ‘Orang Gila yang kebal penyakit’ seperti tertera dalam akun Instagram tersebut sama sekali tidak berdasar dan menyesatkan. Saat tanggapan ini dibuat, Perhimpunan Jiwa Sehat beserta beberapa elemen Masyarakat Penyandang Disabilitas Indonesia justru tengah mendorong pemerintah untuk menerbitkan protokol perlindungan bagi penyandang disabilitas di panti-panti sosial milik pemerintah dan swasta dalam rangka mengurangi risiko penularan Covid-19.
Sejauh yang kami amati, konten seperti tercantum di atas kemudian memancing komentar menyesatkan lainnya dari khalayak pengikut (follower) yang diantaranya mengaitkan perilaku menyendiri Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sebagai praktik social distancing. Komentar seperti itu semakin menunjukkan pemahaman menyesatkan tentang kondisi ODGJ karena yang mereka alami bukanlah wujud pembatasan sosial (social distancing) seperti yang dianjurkan pemerintah untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19 tetapi justru merupakan bentuk pengabaian sosial (social exlcusion). Dua hal tersebut tentulah amat berbeda dalam definisi dan praktik. Menurut WHO, eksklusi sosial adalah proses multidimensi yang didorong oleh ketimpangan relasi-kuasa dalam ranah politik, ekonomi dan sosial budaya. Ekslusi sosial juga berkaitan dengan ketimpangan akses terhadap sumberdaya kesehatan yang dapat mengakibatkan ketimpangan kondisi kesehatan seorang individu atau kelompok. Mereka dijauhi, dikucilkan, dan diabaikan. Dengan demikian apa yang dialami oleh ODGJ adalah situasi yang merugikan bagi kesehatan mereka, bukan sebaliknya.
Terkait dengan pemaparan di atas, Perhimpunan Jiwa Sehat menghimbau agar para pembuat konten terlebih mereka yang menjadi panutan masyarakat (public figure) agar tidak menjadikan orang dengan disablitas temasuk orang dengan kondisi kesehatan jiwa tertentu sebagai objek konten media sosial dengan narasi yang keliru dan menyesatkan. Terlebih lagi jika narasi tersebut dibuat tidak berdasarkan pada pemahaman yang cukup mengenai kondisi ODGJ di Indonesia dan hanya bertujuan untuk mengolok-olok. Membuat konten viral yang mengolok-olok kelompok rentan ditengah pandemi sungguh perbuatan yang tidak terpuji. Hal tersebut juga menghambat berbagai upaya advokasi dan edukasi publik tentang hak-hak orang dengan disabilitas mental yang sudah dilakukan bertahun-tahun oleh berbagai pihak seperti aktivis kesehatan jiwa, praktisi kesehatan, advokat publik, akademisi, wartawan dan pihak-pihal lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Dalam hal ini perilaku memviralkan kesesatan berpikir bisa jadi lebih berbahaya dari virus penyebab pandemi itu sendiri.
Perhimpunan Jiwa Sehat juga berharap agar berbagai pihak mau menjadikan momen pandemi Covid-19 sebagai sarana refleksi untuk memperbaiki sikap dan kepedulian kita pada sesama terutama mereka yang selama ini terabaikan dan tidak terjangkau oleh layanan kesehatan publik. Saat pandemi ini berakhir, kami berharap pandangan dan sikap masyarakat terhadap kelompok masyarakat rentan berubah kearah yang lebih baik. Pandemi Covid-19 mengajarkan pada kita bahwa solidaritas, kepedulian sosial, dan empati amat diperlukan dalam mengatasi krisis ini bersama-sama. Kami juga berharap perbaikan layanan kesehatan publik yang dapat menjangkau lebih banyak orang, termasuk orang dengan disabilitas mental yang selama ini tinggal menggelandang di jalanan atau mereka yang ditampung di panti-panti sosial negara maupun swasta.