Polemik Legal Capacity Penyandang Disabilitas Mental
Penyandang Disabilitas Mental (PDM) memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di hadapan hukum dan hak sebagai subyek hukum. Namun masyarakat beranggapan PDM tidak memiliki kecakapan hukum sehingga anggota keluarga atau bahkan orang lain dapat dengan mudah men-ssubstitute segala keputusan yang seharusnya dilakukan oleh PDM (perwalian atau guardianship).
Pengampuan dilakukan baik secara formal melalui pengadilan, maupun secara informal atau tanpa melalui proses peradilan. Fenomena ini sudah menjadi praktik kebiasaan di masyarakat, dan celakanya diterima sebagai kebenaran. Akibatnya PDM harus kehilangan hak-haknya termasuk ketika harus dibawa ke rumah sakit jiwa atau panti sosial tanpa persetujuan PDM yang bersangkutan. Padahal anggota keluarga atau bahkan orang lain tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai pengampu yang sah oleh pengadilan, dan PDM tersebut juga tidak pernah dinyatakan tidak cakap secara hukum. Mereka tinggal puluhan tahun terkurung tanpa ada kejelasan kapan bisa keluar. Jika keluarga menginginkan, PDM bisa dipenjara didalam panti seumur hidupnya. Dalam proses pengobatannya pun PDM tidak memiliki kecakapan hukum untuk menentukan sendiri keinginan dan preferensinya.
Penyandang disabilitas mental pada umumnya juga dianggap tidak berhak untuk menerima dan mengelola warisan. Warisan yang seharusnya menjadi hak PDM jatuh ke tangan kakak, adik, atau keluarganya tanpa melalui proses hukum apa pun. Di Sumatera Barat ada dua orang kakak melakukan perampasan warisan PDM bernama R dengan mengajukan permohonan ketidakcakapan hukum dan pengampuan. Untuk membuktikannya, R dibawa paksa ke Rumah Sakit Jiwa Padang dengan cara diborgol. Sesampai di rumah sakit jiwa, borgolnya dibuka tetapi diganti diikat dengan tali. Hal ini membuat R terpaksa buang air kecil di celana. Hakim Pengadilan Negeri Sungai Penuh mengabulkan pengajuan pengampuan ini dan menempatkan R di bawah pengampuan kedua kakaknya melalui Ketetapan Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor 9/PDT.P/2016/PN.SPN tanggal 12 Mei 2016. Kedua kakaknya menggunakan kekuasaan pengampuan ini untuk menguasai harta warisan R.
Dalam pengasuhan anak, PDM pun harus kehilangan hak asuh anak, seperti yang dialami artis sinetron M harus berpisah dengan anak satu-satunya hasil pernikahan dengan BK. Setelah bercerai di tahun 2015, S sepenuhnya menjadi hak asuh mantan suaminya BK. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat tidak bisa mempercayakan S yang masih kecil untuk diberikan kepada M yang menderita ggangguan kesehatan mental.
Penyandang disabilitas mental di Indonesia dinyatakan tidak cakap untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tanpa proses hukum apa pun sehingga mereka tidak bisa terdaftar sebagai pemilih. Begitu pun dengan hak untuk dipilih yang mensyaratkan sehat rohani, yang dibuktikan dengan tes psikologo. Persyaratan tes psikologi ini menutup kemungkinan bagi PDM untuk menjadi pimpinan eksekutif dan/ atau anggota legislatif di pusat maupun daerah.
Dengan kondisi-kondisi yang demikian tentunya merugikan PDM, namun Pemerintah justru ‘mendukung’ tercerabutnya hak atas pengakuan sebagai individu di hadapan hukum dan hak sebagai subyek hukum, seperti tercermin ditetapkannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Pasal 21 ayat (3) dan (4) menyebutkan bahwa dokter yang bertugas saat seorang PDM dibawa ke layanan rawat inap rumah sakit, dapat menetapkan sebagai orang yang tidak mampu mengambil keputusan dan mengalihkan persetujuan hospital admission dari PDM ke pihak keluarga begitu saja. Setelah dimasukkan mereka bisa dirawat dalam waktu yang tidak terbatas. Tidak dibutuhkan adanya proses hukum atau ketetapan pengadilan untuk ini.
Terlebih proses pengampuan dalam peradilan di Indonesia juga sangat buruk. Kami menemukan 8 kasus Pengampuan yang ditetapkan melalui proses hukum dari 2015 – 2018. Dari 8 kasus tersebut proses hukumnya berlangsung sangat cepat, rata-rata proses persidangan berlangsung selama 22 hari. Begitu pun dalam pembuktiannya juga sangat mudah, hanya cukup dengan surat. Namun surat yang disertakan tidak menjelaskan apa kendala yang dialami oleh PDM untuk mengambil keputusan sehingga tidak cakap atau butuh pengampuan. Alat bukti lain yang biasa diajukan ada yang hanya berbentuk kartu pasien, surat riwayat pengobatan, resep obat, surat rujukan, atau ada juga surat keterangan kesehatan yang dikeluarkan bukan oleh dokter/psikiater/psikolog.
Delapan kasus yang kami amati, seluruh permohonan pengampuan dikabulkan oleh hakim, salah satunya kasus dimana seorang PDM ditaruh di bawah pengampuan adiknya, dan adiknya tersebut diberikan hak untuk mengambil gaji PDM. Namun si adik tidak pernah merawat kakaknya sehingga anak dari PDM tersebut mengajukan gugatan agar hak untuk mengampu dialihkan kepada anak PDM. Latar belakang ekonomi speerti itu yang mayoritas kami amati menjadi motif pengampuan oleh anggota Keluarga atau orang lain untuk menguasai harta warisan atau harta dari PDM.
Kerangka hukum pengampuan di Indonesia tidak membahas jenis kewenangan yang bisa diambil oleh pengampu. Dari 8 kasus, pengampu diberi kekuasaan tanpa batas. Dengan tidak jelas kewenangan ini menimbulkan resiko pencabutan hak lain, seperti diantaranya hak atas pekerjaan dan hak partisipasi politik. Selain itu, terjadi juga kekosongan hukum kapan ‘sebab-sebab pengampuan’ ini dinyatakan tidak lagi berlaku. Dari 8 kasus tersebut, pengampu diberi kekuasaan tanpa batasan waktu. Kami berpandangan bahwa waktu pengampu itu harus sesingkat mungkin dan di-review secara berkala oleh lembaga independen.
Perwalian merupakan substitute decision making, artinya bisa ‘diberikan’ ketika dalam situasi atau kondisi terpaksa, misalnya PDM dalam keadaan koma atau sakit parah, dan pengampu yang diberikan kewenangan tersebut tidak boleh mengambil keputusan. Jika memang harus mengambil keputusan, maka harus didasarkan perspektif PDM (korban). Hal ini lah yang terus kami advokasi ke masyarakat, bahwa sebagai subjek hukum PDM adalah pengambil keputusan utama. Oleh karena itu, mereka berhak mendapat dukungan dalam pengambilan kepputusannya (supportive decision making), misalnya ditanya pelan-pelan, dijelaskan dengan bahasa yang mudah, diberikan pilihan-pilihan dan penjelasannya, lalu diserahkan kepada PDM dalam pengambilan keputusannya, bukan dengan perwalian.
REFERENSI
Albert Wirya, Kebijakan yang Paranoid: Kekangan terhadap Disabilitas Psikososial, LBH Masyarakat, Jakarta: 2018.
Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2003
Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychosocial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.