Gambar : Komisi Nasional Disabilitas (Pihak Terkait), Komisi Nasional HAM (Pihak Terkait), dan Perhimpunan Jiwa Sehat (Pemohon) pada 11 Mei 2023 setelah menyerahkan dokumen Kesimpulan Persidangan Pada Pemeriksaan Perkara Permohonan Pengujian Materiil Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap UU NRI Tahun 1945 Dengan Nomor Perkara PUU No. 93/PUU-XX/2022.

 

11 Mei 2023 – “Dalam sejarah manusia sampai saat ini, terdapat salah satu kaum yang belum dikembalikan hak-hak atas dirinya kembali yakni penyandang disabilitas mental.” Ucap Yeni Rosa, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.

 

Pasal 433 dalam KUH Perdata menyatakan : “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya, seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”. 

 

Menurut ahli dan pada praktiknya, kata dungu, gila, mata gelap, selama ini diidentikan dan ditujukan kepada Penyandang Disabilitas Mental (PDM). Penetapan pengampuan terhadap PDM yang didasari Pasal 433 KUH Perdata ini merupakan bentuk diskriminasi pada hak-hak penyandang disabilitas mental.

Selama ini, PDM ditaruh dibawah pengampuan karena dianggap tidak cakap secara hukum untuk bertindak sehingga mengalihkan pengambilan keputusan tersebut kepada orang lain secara penuh. “Seseorang yang dinyatakan tidak kompeten secara hukum biasanya tidak dapat menikah, tidak dapat membentuk keluarga, tidak dapat dengan bebas berhubungan dengan orang lain, tidak dapat memiliki harta benda atau mengelola keuangan, tidak dapat memberikan persetujuan untuk prosedur medis.” Pernyataan Prof. Gerard Quinn, BA. LLB, LL.M S.J.D (Special rapporteur CRPD) dalam persidangan uji materiil Pasal 433 KUH Perdata.

Pasal 433 KUHPerdata menghilangkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun bagi penyandang disabilitas mental.

Padahal menurut Fajri Nursyamsi, S.H.,M.H, kapasitas hukum berdasarkan pendekatan universal secara formil tidak menekankan kepada kemampuan individu untuk membuat keputusan, tetapi lebih menekankan kepada hak individu untuk membuat keputusan dan dihormati atas keputusannya tersebut. Walau ketika penyandang disabilitas mental dianggap tidak cakap karena kondisi disabilitasnya, itu merupakan pandangan usang sebelum adanya penanganan obat dan non-obat serta berbagai dukungan yang mampu memulihkan gejala psikososial.

“Komnas HAM melihat Pasal 433 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan Disabilitas Mental punya hak otonomi untuk membuat keputusan sendiri, maka berharap majelis hakim Mahkamah Konstitusi Perkara PUU No. 93/PUU-XX/2022 memberikan tafsir bahwa Pasal 433 tidak dimaknai untuk Disabilitas Mental, dan menempatkan Disabilitas Mental Sebagai Subyek Hukum secara penuh sesuai dengan Pasal 12 UNCRPD.” Terang Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM.

Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) sebagai organisasi yang berfokus pada hak-hak penyandang disabilitas psikososial, mengajukan Judicial Review Pasal 433 KUHPerdata ke Mahkamah Konstitusional pada tanggal 26 September 2022.

Sampai dengan saat ini telah selesai masa pembuktian dari seluruh pihak melalui 9 (sembilan) bulan masa persidangan, dan 12 (dua belas) sesi persidangan. PJS sebagai Pihak Pemohon telah mengajukan beberapa bukti tertulis, ahli, dan saksi (antara lain, Psikiater, Special reporture CRPD, ahli hukum konstitusi, dan ahli hukum Hak Asasi Manusia), untuk membuktikan bahwa Pasal 433 KUHPerdata adalah Pasal yang diskriminatif dan sangat merugikan Penyandang Disabilitas Mental, serta bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Maka melalui putusan uji materiil Pasal 433 KUH Perdata nanti, Mahkamah Konstitusi diharapkan membuat putusan yang sejalan dengan Konstitusi, CRPD dan hukum asasi manusia internasional.