Pada 29 September 2025, Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas yang di dalamnya termasuk Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi III DPR RI. Forum ini membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Bersama Lokataru Foundation, Aliansi Advokat Pemerhati Keadilan, serta pakar seperti psikiater dr. Irmansyah Sp.KJ dan Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, Koalisi menyampaikan catatan kritis terkait pasal-pasal yang berpotensi diskriminatif.
Isu krusial yang menjadi sorotan adalah Pasal 208 RKUHAP, yang menyamakan penyandang disabilitas mental maupun intelektual dengan anak di bawah 15 tahun. Pasal ini mengatur bahwa kesaksian mereka hanya dapat diberikan tanpa sumpah. Akibatnya, kesaksian penyandang disabilitas dipandang lemah, tidak sah sebagai alat bukti utama, dan sangat berisiko diabaikan dalam proses peradilan. Hal ini dinilai berbahaya, terutama pada kasus kekerasan seksual yang sering hanya melibatkan korban dan pelaku. Jika kesaksian korban disabilitas mental hanya dianggap keterangan tambahan, maka keadilan bagi korban akan sulit dicapai.
Koalisi menilai pasal tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan berbagai instrumen hukum, baik nasional maupun internasional. UUD 1945 (Pasal 28D, 28H, 28I), UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, PP Nomor 39 Tahun 2020, hingga Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) menegaskan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Menyamakan seluruh penyandang disabilitas mental dengan individu yang tidak mampu memberi keterangan merupakan pandangan usang dari KUHAP 1981 (Pasal 171) yang seharusnya tidak lagi dipertahankan dalam sistem hukum modern.
Sebagai solusi, Koalisi merekomendasikan penghapusan frasa diskriminatif “sakit ingatan/sakit jiwa” dari RKUHAP, penegasan bahwa semua orang berhak memberikan kesaksian di bawah sumpah, serta penilaian kapasitas yang berbasis fungsi oleh ahli independen, bukan asumsi aparat. Negara juga wajib menyediakan akomodasi yang layak, seperti pendamping disabilitas, bahasa sederhana, komunikasi augmentatif, serta fleksibilitas waktu. Lebih jauh, prinsip supported decision-making perlu diterapkan agar penyandang disabilitas tetap diakui sebagai subjek hukum penuh yang setara.
Melalui RDPU ini, Koalisi Nasional Disabilitas menegaskan bahwa revisi KUHAP harus benar-benar menjadi momentum memperkuat akses keadilan yang inklusif, setara, dan menghormati martabat semua warga negara, tanpa kecuali.