Penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang tertinggal dalam pembangunan, padahal jumlahnya berdasarkan data Susenas tahun 2020 mencapai 22,22 juta jiwa atau 8,5 persen dari total populasi Indonesia (TNP2K, 2021). Data Badan Pusat Statistik menginformasikan akses penyandang disabilitas terhadap berbagai layanan dasar jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk nondisabilitas. Jika ditelusuri lebih jauh, ketimpangan ini terlihat pada akses wajib belajar 9 tahun yang mencapai 8,6 kali, dan untuk kesempatan kerja mencapai 5,4 kali ketimpangannya dibandingkan penduduk nondisabilitas (BPS, 2021).

Pada akses perlindungan sosial tercatat hanya 1,07 juta jiwa penyandang disabilitas yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau 5% dari total penerima manfaat (Bappenas, 2021). Jumlah dan cakupan penerima manfaat program perlindungan sosial yang ditujukan kepada penyandang disabilitas masih terbatas. Program perlindungan sosial lebih banyak menargetkan kepada rumah tangga miskin. Prioritas penyaluran program perlindungan sosial, terutama yang berbasis bantuan sosial (PBI JKN, PKH, PIP/KIP, KKS, BPNT, dll) masih berbasis data kemiskinan yang merangkum 40% rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan terendah. Sementara itu, penyandang disabilitas termasuk yang telah berusia dewasa banyak yang menumpang tinggal ke rumah sanak keluarganya. Apabila rumah tangga tempat penyandang disabilitas menumpang tidak masuk dalam kategori rumah tangga miskin penerima manfaat, maka penyandang disabilitas tersebut walaupun miskin dan tidak memiliki mata pencaharian, tidak akan terdata sebagai rumah tangga miskin, sehingga berimplikasi pada tidak mendapatkan berbagai program perlindungan sosial berbasis keluarga ini.

Rumah tangga dengan anggota keluarga yang memiliki disabilitas umumnya memiliki pengeluaran/belanja tambahan (extra cost). Ada 8 jenis extra cost yang dibutuhkan penyandang disabilitas: 1) Pengadaan alat bantu dan perawatannya; 2) Asisten personal (disabilitas berat); 3) Transportasi (modifikasi kendaraan/transportasi khusus/pendampingan dalam perjalanan); 4) Terapi; 5) Obat-obatan rutin; 6) Juru bahasa (disabilitas rungu); 7) Modifikasi tempat tinggal dan 8) Modifikasi software pendukung (screen reader).

Dengan kondisi demikian, kertas kebijakan ini disusun untuk memberikan informasi atau data sebagai dasar bahwa pemerintah perlu mendesain ulang program perlindungan sosial yang komprehensif untuk penyandang disabilitas. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi ini adalah menyesuaikan program-program yang sudah ada supaya lebih inklusif, serta mulai menyusun skema manfaat yang ditujukan khusus bagi penyandang disabilitas seperti konsesi, transfer tunai, layanan langsung, serta program-program pendukung lainnya dengan tetap memperhatikan semua ragam disabilitas dan gender.

Kertas kebijakan ini disusun oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) yang dalam proses pembuatannya didasarkan pada konsultasi aktifmulai dari menggelar webinardan FGDdengan 40 organisasi penyandang disabilitas yang merepresentasikan semua ragam disabilitas dari seluruh  Indonesia. Selain itu, Kami juga berkonsultasikan denganbeberapa lembaga think tank, expert, dan lembaga pemerintah. Kertas kebijakan ini dapat terwujud berkat dukungan dari Disability Rights Fund (DRF), CBM dan dukungan asistensi aktif dari mahkota.

 

Untuk informasi selengkapnya mengenai kertas kebijakan “Perlindungan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas: Mengatasi Ketimpangan Mewujudkan Kemandirian” teman-teman disabilitas netra bisa mengakses atau mengunduh pada link dibawah ini:

FileWord_Kertas kebijakan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas : Mengatasi ketimpangan mewujudkan kemandirian

 

Untuk file kertas kebijakan dalam bentuk PDF dapat diunduh pada link dibawah ini :

File_Kertas kebijakan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas : Mengatasi ketimpangan mewujudkan kemandirian