Pada Selasa, 2 November 2021, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menjadi salah satu pembicara dalam webinar TRIPS Plus dan Dampaknya Pada Akses Obat. Webinar ini diselenggarakan atas kerjasama dari Indonesia for global justice, Third World Network dan Indonesia AIDS Coalition. Pembicara lain yang turut hadir adalah Sangeeta Shashikant sebagai perwakilan Third World Network dan Erny Trisniawaty, S.Sos.,M.Si sebagai Sub Direktorat Kerjasama Luar Negeri Kementrian Hukum dan HAM RI.

Diskusi kali ini bertujuan untuk merespon perundingan Indonesia EU CEPA (European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) yang akan memasuki perputaran perundingan kesebelas. EU CEPA diluncurkan pada tahun 2016 dan sudah berlangsung sebanyak sepuluh putaran. Karena sifatnya yang komprehensif perjanjian ini tidak hanya akan mengatur perdagangan saja tetapi juga ketentuan lain seperti jasa, investasi hingga perlindungan.

Cukup banyak perdebatan yang terjadi terutama terhadap hak dalam kesehatan masyarakat dalam trips. Trips sendiri sudah memberikan ancaman terhadap akses kesehatan kepada masayarakat yaitu dalam hal produk-produk kesehatan terutama di Negara berkembang. Melalui monopoli selama 20 tahun industri farmasi mengambil keuntungan penuh dengan menetapkan harga obat-obatan dengan standar yang tinggi. Tingginya harga obat-obatan tersebut membuat masayarakat terutama di Negara berkembang  tidak mampu mengakses obat-obatan tersebut.

Ibu Yeni Rosa Damayanti menyampaikan informasi terkait “Permasalahan akses terhadap obat bagi penyandang disabilitas psikososial di Indonesia”. Dan beliau menyatakan bahwa orang-orang dengan disabilitas psikososial diakibatkan adanya hambatan interaksi mereka dengan lingkungannya. Menurut WHO, 1 dari 4 orang dari seluruh orang di dunia mengalami disabilitas psikososial atau gangguan neurological lainnya. Pada saat ini diperkirakan diseluruh dunia ini ada 450 juta orang yang mengalami disabilitas psikososial.  Pasar terbesar obat-obatan di dunia itu ialah obat-obatan untuk orang-orang dengan disabilitas psikososial. Dan kebanyakan obat-obatan tersebut relatif mahal sekali dibanding dengan obat-obatan lain.

Dengan dukungan yang baik, baik dukungan sosial maupun medis maka orang-orang dengan disabilitas psikososial dapat hidup seperti biasa sama dengan orang-orang lainnya. Gangguan psikososial ini bersifat kronis dimana berlangsung lama dan terus menerus membutuhkan obat dalam jangka waktu yang lama ataupun seumur hidup. Walaupun memang kebutuhannya bukan hanya obat tapi itu merupakan salah satu faktor yang dibutuhkan secara terus menerus. Di Indonesia obat-obatan untuk disabilitas psikososial sangat terbatas. Di tingkat puskesmas obat-obatan tersebut nyaris tidak tersedia dan baru mulai tersedia pada faskes di tingkat kabupaten dan jauh lebih lengkap lagi pada tingkat provinsi. Akibat dari fenomenal tersebut ialah orang-orang dengan gangguan psikososial tersebut banyak yang di pasung.

Mengapa pemerintah tidak menyediakan. Alasannya karena obat-obatan ini adalah obat paten yang diimport dan mahal harganya. Anggarana pemerintah tidak cukup untuk mengcover ketersediaan obat ini. Obat-obatan untuk masalah kejiwaan di Indonesia, apalagi ditingkat puskesmas kebanyakan obat-obatan lama buatan tahun 1950 an yang efek sampingnya sangat berat, seperti haloperidol (anti psikotik generasi lama). Salah satu efek dari obat generasi lama, haloperidol, yaitu pseudoparkinsonism, akathisis, acute dystonia, tardive dyskinesia. Obat-obatan psikriatri baru. Semenjak tahun 1990an telah ada obat-obatan psikiatri baru yang jauh lebih baik dengan efek samping yang jauh lebih ringan, baik untuk skizofrenia, bipolar, depresi dan axietas.

Sangeeta Shashikant membahas mengenai Implications of Indonesia-EU CEPA for Access to Medicines. Beliau menyatakan bahwa “Permintaan UE terkait permintaan jangka waktu paten. Patennya berlangsung selama 20 tahun. Dan kita harus menyediakannya selama 20 tahun. Dan jika obatan tersebut tida lebih dari 5 tahun maka kita harus memperpanjang hak patennya. Saat ini kita juga berjuang untuk mendapat akses dalam obat-obatan. Jika berhasil memperpanjang hak paten maka dapat mengirit pengeluaran sampai 241 juta. Data market exclucivity mempengaruhi panjang masa berlakunya dan ketika Negara mencoba untuk melakukan lisensi wajib terhadap obat-obatan maka itu aka nada jangka waktu yang dilalui sebelum melakukan lisensi wajib. Jika data exclucivity di Indonesia berlaku maka otomatis Indonesia baru bisa melakukan lisensi wajib pada obat-obatan pada 11 tahun yang akan mendatang. EU dalam masa pandemic justru mendorong fleksibilitas terhadap TRIPS sedangkan di CEPA membatasi fleksibilitas terhadap TRIPS tersebut”.

Erny Trisniawaty, S.Sos., M.Si menyampaikan mengenai bagaimana dinamika perundingan pada UE CEPA. Beliau menyatakan bahwa dalam IT chapter memuat 68 pasal. Bagi kamu sebagai perunding tidak mudah untuk melakukan negosiasi kepada EU, meskipun EU mengajukan proposal yang mengarah pada TRIPS Plus tetapi kami juga team perunding Indonesia mengajukan beberapa pasal yang menurut kami adalah kepentingan besar bagi Indonesia. Isu-isu yang kita ajukan di EU CEPA ini juga menjadi politikal isu bagi EU jadi jika EU menolak dari pasal atau proposal yang kita ajukan karna tidak sesuai dengan aturan mereka tidak ada obligasi international.

Maka kami juga akan menyampaikan argumen yang sama untuk menolak proposal terkait TRIPS PLUS yang diajukan EU dalam perundingan EU CEPA dan juga ajuan yang memperlemah fleksibilitas berdasarkan TRIPS. Kami akan tetap memperjuangkan perundingan EU CEPA untuk kepentingan Indonesia dalam hal ini.

Permasalahan ini bukan hanya kepentingan pemerintahan Indonesia saja namun juga kepentingan masyarakat luas. Guna memperjuangkan agar Pemerintah Indonesia tidak melakukan persetujuan mengenai TRIPS PLUS.

Ibu Yeni menyatakan “Kita luar biasa berkepentingan dalam pembagian moral dan membayangkan bagaimana masa depan akses obat di Indonesia terutama untuk teman-teman disabilitas psikososial apabila sampai diterapkan di Indonesia. Kami masih memastikan Pemerintahan Indonesia tidak dalam perundingan dengan EU dalam masalah ini. Jika pemerintah Indonesia perlu mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk teguh bertahan dan tidak mundur dalam perlindungan, jika perlu kita membuat surat dukungan atau surat terbuka yang kita tujukan kepada pemerintah Indonesia. Terimakasih kepada teman-teman yang sudah betul-betul memperjuangkan hal ini”.


Salam inklusi,
Perhimpunan Jiwa Sehat