PJS Ajak Puluhan OPD Kawal Advokasi Perlindungan Sosial yang Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

 

 

Sejak awal tahun 2021, Perhimpunan Jiwa Sehat mengajak Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) di seluruh Indonesia untuk merumuskan kertas kebijakan Perlindungan Sosial yang Inklusif bagi Penyandang Disabilitas.

Inisiasi ini lahir karena adanya kesadaran PJS bahwa program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih tergolong minim dan tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara yang kapasitas ekonominya setara dengan Indonesia seperti Malaysia, Fiji, Afrika Selatan, dll.

Di saat yang bersamaan, dinding penghambat partisipasi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi masih begitu kokoh berdiri. Data-data menunjukkan bahwa penduduk disabilitas jauh tertinggal dibandingkan dengan penduduk non-disabilitas dalam partisipasi pendidikan maupun pekerjaan. Maka dari itu untuk mengejar ketertinggalan ini, dibutuhkan program perlindungan sosial yang memadai untuk penyandang disabilitas.  

Melihat urgensi tersebut, PJS mengadakan serangkaian kegiatan webinar dan FGD yang melibatkan setidaknya 115 orang dari 40 organisasi penyandang disabilitas di seluruh Indonesia untuk merumuskan kertas kebijakan program perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas yang disusun dan diusulkan sendiri oleh penyandang disabilitas. Proses penyusunan ini telah berlangsung selama delapan bulan.

Kamis (02-09) yang lalu, PJS menyelenggarakan webinar untuk mendiseminiasikan kertas kebijakan yang telah disusun tersebut. Diskusi ini dipantik oleh beberapa perwakilan OPD, yakni Antoni Tsaputra dari PPDI Padang, Nurul Saadah Andriani, Sapda, dan Edy Supriyanto dari Sehati Sukoharjo. Sementara pemandu diskusinya adalah Cucu Saidah, seorang aktivis disabilitas yang sudah tidak asing lagi.

Salah satu pokok pembahasan diskusi tersebut adalah pemetaan strategi dan langkah bersama untuk mengawal advokasi perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas. Beberapa perwakilan organisasi dari berbagai daerah menyampaikan saran dan masukannya. Salah satunya Mulyansyah, Pertuni Kalimantan Tengah sepakat mengenai hal itu. Ia mengusulkan bahwa advokasi bisa dimulai dari Bappenas. Tak hanya Bappenas, perwakilan OPD lainnya turut menambahkan Kementerian Pendidikan, Kementerian PPPA, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kemenko PMK, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian PUPR, dan sebagainya. Dari berbagai kementerian itu, Junia Rendi, PPDI Kalimantan Tengah, mengusulkan perlunya klasterisasi advokasi berdasarkan kewenangan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Tak hanya itu, badan dan lembaga nonpemerintah juga ikut dipetakan untuk mengusung advokasi ini hingga terwujud. Beberapa di antaranya yakni, BPS, BPJS, ADB, World Bank, UNDP,  WHO, ILO, UNICEF (dan lembaga di bawah PBB lainnya), serta berbagai lembaga donor internasional seperti CBM, DRF/DRAF, GIZ, USAID, dll. Cucu menambahkan, agenda advokasi ini harus menjadi agenda bersama bagi berbagai OPD di tingkat daerah maupun nasional. Koordinasi dan solidaritas yang kuat penting untuk terus dijaga mengingat ini adalah kerja yang membutuhkan napas panjang. Dwi Ariyani, dari DRF/DRAF Indonesia, sepakat dengan pendapat tersebut. Menurut Dwi, materi kampanye dan advokasi ini harus bisa diakses seluruh ragam disabilitas mengingat ini kepentingan semua orang.

Menutup diskusi tersebut, puluhan OPD menyatakan kesiapannya mengawal advokasi perlindungan sosial yang inklusif ini. Mereka ikut menanam harap, advokasi ini dapat menjadi salah satu upaya mewujudkan  penjaminan hak dan perlindungan sosial yang lebih baik di masa depan, bagi semua warga negara tanpa satu orang pun yang tertinggal. “Saya harap teman-teman OPD bisa hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan pemerintah. Kita kawal upaya ini bersama-sama, sebab semakin banyak yang ikut maka posisi kita semakin kuat,” seru Yeni Rosa Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat.