Peringati Hari Perempuan dengan Berdiskusi mengenai Perempuan Penghuni Panti Sosial

 

 

Pada Senin (15-03), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) bersama Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), yang didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2, menyelenggarakan diskusi bertajuk "Perempuan-Perempuan Penghuni Panti Sosial". Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia, yakni setiap tanggal 8 Maret. Melalui kanal Zoom Meeting, beberapa pembicara yang turut hadir dalam diskusi ini adalah Gung Putri Astrid, staf khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (KemenPPPPA), Mike Verawai Tangka, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia, dan Yeni Rosa Damayani selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat. Selain itu, Theresia Sri Endras Iswarini selaku Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan turut hadir sebagai penanggap. Diskusi ini juga dipandu oleh Veni Siregar, koordinator Sekreatariat Nasional FPL.

Sebagian besar perempuan penyandang disabilitas mental di negeri ini hidup di panti-panti sosial. Di sana, tidak ada yang bisa menjamin kelayakan hidup mereka. Berbagai macam penyiksaan terjadi di tempat-tempat tertutup seperti itu. Yeni Rosa Damayanti memaparkan, menurut data yang berusaha dihimpun oleh PJS, jumlah perempuan penyandang disabilitas mental yang tinggal di panti sekitar 5000 orang, dan besar kemungkinan bahwa realitanya lebih dari itu. Mereka dipaksa masuk tanpa persetujuan apapun, dan tidak pernah tahu bagaimana dan kapan mereka bisa keluar. Padahal, seharusnya, semenjak Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), praktik semacam ini seharusnya mulai diberantas. Dalam Pasal 14 CRPD disebutkan bahwa tidak boleh siapapun dirampas haknya karena disabilitas, termasuk kesehatan mentalnya.

Yeni mengidentifikasi beberapa masalah yang menyebabkan masih banyaknya perempuan penyandang disabilitas mental yang tinggal di panti. Faktor pertama berasal dari keluarga dan masyarakat, di mana stigma berkembang dengan begitu kuat sehingga muncul asumsi umum yang berpandangan bahwa penyandang disabilitas mental sudah tidak memiliki harapan lagi, dengan demikian panti adalah satu-satunya solusi praktis yang masuk akal. Yang kedua, dalam konteks masyarakat kita pada umumnya, tidak banyak  yang memiliki pengetahuan yang memadai bahwa penyandang disabilitas mental bisa beraktivitas seperti yang lainnya. Ketiadaan dukungan seperti anggaran dan perawatan untuk menangani mereka justru memperparah kondisi. Lebih jauh, individu penyandang disabilitas mental sendiri (apalagi perempuan) dianggap tidak memiliki kapasitas hukum. Selain itu, karena berbagai macam upaya diskriminasi yang menempatkan mereka sebagai kelompok marjinal, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, tidak memiliki sistem pendukung, hingga tidak memiliki tempat tinggal. Hal ini sangat berpotensi memperkuat stigma sehingga faktor satu pun juga semakin kuat. Ketiga, stigma dan diskriminasi ini tidak kunjung direspons oleh negara dan justru berpotensi untuk "menciptakan" peluang terjadinya penyiksaan di dalam panti. Misalnya seperti ketiadaan informasi, perawatan, dan keuangan bagi keluarga, tidak ada pemberian perumahan sosial yang terjangkau bagi penyandang disabilitas, hingga pada akhirnya tidak menjamin kapasitas hukum mereka secara setara seperti masyarakat umumnya. Ketiga faktor ini menjadi pemicu yang kuat seorang perempuan penyandang disabilitas mental ditempatkan di panti-panti sosial.

Mempertimbangkan kondisi itu, salah satu solusi yang bisa diupayakan saat ini adalah dengan mengubah panti sosial menjadi mekanisme yang lebih terbuka seperti rehabilitasi berbasis masyarakat; selain itu juga bisa mulai mengadvokasikan dukungan tempat tinggal dan jaminan kapasitas hukum bagi penyandang disabilitas. Agenda ini tentu saja sangat berguna demi menciptakan lingkungan hidup yang lebih inklusif bagi semua orang. Untuk mewujudkan itu, perlu dukungan dan perhatian dari semua pihak.

Mike Verawati Tangka menyetujui hal tersebut. Ia turut memaparkan, selain penyandang disabilitas, banyak perempuan yang tinggal di panti-panti sosial dengan beragam latar belakang. Beberapa panti itu di antaranya  adalah panti untuk 'tuna sosial' atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Panti untuk Orang dengan HIV AIDS (ODHA), dan panti anak (terutama anak jalanan). Mereka turut menghadapi realita yang sama sulitnya, yakni overstay, tidak terpenuhinya hak-hak dasar, hingga berbagai pengalaman kekerasan.

 

Staf khusus KemenPPPA, Agung Putri Astrid berpendapat bahwa kemungkinan besar hal ini bisa terjadi karena, yang pertama, adalah ketidaktahuan petugas mengenai penanganan yang baik bagi hunian panti sosial. Menurutnya, hal ini perlu dikampanyekan supaya tidak ada lagi perampasan hak-hak terhadap penghuni panti, termasuk para perempuan yang ada di sana. Ia menjelaskan bahwa saat ini sedang ada proses perumusan UU Pekerja Sosial, di mana salah satu yang diatur di dalamnya adalah mengenai persyaratan keahlian dan perspektif dalam mendampingi dan menangani para penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. "Saya mendorong generasi muda untuk menjadi pekerja sosial, karena penting untuk menjamin ketersediaan sumber daya untuk melayani mereka yang membutuhkan pendampingan," ujar perempuan yang akrab dengan sapaan Gung Tri itu.

Gagasan serupa juga dikemukakan oleh Theresia Sri Endras Iswarini. Ia menjelaskan bahwa kontribusi masyarakat sipil perlu untuk melakukan pembaruan pendataan di panti dan tempat-tempat rehabilitasi lainnya. Gerakan HAM dan perempuan harus mulai menaruh perhatian pada isu ini dan bersama-sama mengadvokasikan perbaikannya.