Penyandang Disabilitas Mental Berhak untuk Memilih dan Dipilih dalam Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu instrumen utama demokrasi. Pelaksanaan Pemilu mensyaratkan terjaminnya hak-hak para pemilih dengan melibatkan semua elemen warga negara tanpa terkecuali. Namun sejak dahulu Penyandang Disabilitas Mental (PDM) di Indonesia didiskreditkan sebagai orang yang tidak pantas dan tidak cakap untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI. Jakarta tahun 2017, ratusan PDM yang berada di beberapa panti sosial di Jakata tidak diberikan hak pilih dengan alasan mereka mengalami gangguan jiwa. Hal ini diperkuat dengan surat pernyataan dari salah satu rumah sakit di Jakarta bahwa penghuni panti sosial tersebut dianggap tidak cakap untuk memilih.

Pada Pilkada 2018 Kami menemukan sekitar 418 penghuni panti sosial di Kota Bekasi tidak didata oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemilih, juga dengan alasan adanya surat keterangan dokter yang menyatakan seluruh penghuni panti sedang dalam keadaan sakit atau direhabilitasi. Pasal 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, menyatakan persyaratan untuk bisa didaftar sebagai pemilih adalah tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya yang harus dibuktikan melalui surat keterangan dokter.

Begitu pun dengan fenomena hak untuk dipilih, Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa seseorang hanya bisa mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) apabila calon tersebut sehat secara jasmani dan rohani. Sehat rohani harus dibuktikan melalui serangkaian pemeriksaan psikiater termasuk di dalamnya pemeriksaan untuk melacak jejak masalah kejiwaan. Undang Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota harus memenuhi persyaratan mampu secara rohani. Bukan hanya itu, untuk menjadi komisioner penyelenggara pemilu mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota harus melalui seleksi tes psikologi. Persyaratan tes psikologi ini menutup kemungkinan bagi PDM untuk menjadi pimpinan eksekutif dan/ atau anggota legislatif di pusat maupun daerah.

Secara medis kapasitas seseorang untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Artinya PDM seperti penderita skizofrenia, Bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.

Hambatan yang terjadi ini tidak sesuai dengan perkembangan Hak Asasi manusia (HAM) internasional yang menjamin hak politik bagi penyandang disabilitas. PDM memiliki hak asasi yang setara sejak mereka lahir, diantaranya hak untuk memilih dan dipilih, yang dalam pemenuhannya tidak dapat dibatasi oleh negara.

Secara yuridis PDM adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama, Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Pasal 21 ayat (3) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 menyatakan bahwa Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam Pemilu yang dilaksanakan secara berkala, jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005, pada Pasal 25 menyatakan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan: a) Ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih. Ketentuan ini menekankan setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui perwakilan yang dipilih secara bebas.

Pasal 21 Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomer 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), menyatakan: 1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; 2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negaranya; 3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah, kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Kemudian, dalam Pasal 5 ayat 3 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia  dijelaskan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan tersebut salah satunya penyandang disabilitas. Pasal 43 Undang Undang HAM ini secara substansial memberikan jaminan kepada setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, diberikan peluang yang setara bagi setiap warga negara untuk dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Pasal 75 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik serta lansung atau melalui perwakilan. Pasal 77 memerintahkan kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas untuk berpartisipasi lansung dan mendapat hak untuk didata sebagai pemilih dalam Pemilu, Pilkada, Pemilihan Kepala Desa atau sebutan lainnya.

Perhimpunan Jiwa Sehat telah mengajukan judicial review Pasal 57 Ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal yang berbunyi, “ untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau …” Pasal ini kami nilai telah menghilangkan hak memilih seseorang warga negara untuk berpartisipasi di dalam pilkada. Selain itu, ketentuan pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, khususnya pada tahapan pemuktahiran dan pendaftaran pemilih. Padahal, gangguan psikososial bersifat episodik dan tidak terus-menerus muncul setiap saat. Hingga akhirnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari permohonan kami.

Perjuangan tidak berhenti sampai di sini. Kami terus memberikan edukasi kepada masyarakat luas dan memberikan berbagai masukan kepada penyelenggara pemilu untuk tidak mengabaikan penyandang disabilitas mental dalam hajatan pemilu.

 

REFERENSI

 

Josefhin Mareta, Mekanisme Penegakan Hukum Dalam Upaya Perlindungan Hak Kelompok Rentan (Anak Dan Perempuan), Jurnal HAM 7, No. 2, 141–155. 2016.

Gatot Ristanto, et.al., Pemilu 2019: Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: 2019.

Tony Yuri Rahmanto, Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas Mental Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM Vol. 10 No. 1, 2019.

Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychosocial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.


Dokter Jiwa: Hak Pilih Bagi Gangguan Jiwa Sudah Sejak '95, CNN Indonesia

8 April 2019

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) meminta masyarakat untuk menghargai dan melindungi hak pilih bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam pemilihan umum (Pemilu) 2019.Kesempatan memilih dalam pemilu bagi ODGJ telah berlangsung sejak 1995 berdasarkan berbagai ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Untuk informasi elanjutnya bisa lihat: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190408090548-32-384176/dokter-jiwa-hak-pilih-bagi-gangguan-jiwa-sudah-sejak-95