Advokasi kita - Hak Atas Pekerjaan

Harapan Omnibus Law Cipta Kerja Memberikan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Biidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Harapan Omnibus LawCipta KerjaMemberikan Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Biidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Awal Juni 2020 Pokja Koalisi Nasional Organsasi Penyandang Disabilitas untuk Implementasi Undang Undang Penyandang Disabilitasmengadakan diskusi mingguan secara online yang bertajuk “PeluangPemenuhanHakPenyandang DisabilitasDalam Bidang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di RUU Cipta Kerja”. Rancangan UndangUndang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)untuk dilakukan pembahasan atas 11 (sebelas) cluster, salah satunya terkait kemudahan dalam Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Arah penguatan sektor UMKM dalam RUU Cipta Kerja fokus kepada penyederhanaandan kemudahanperizinan,sertakemitraan UMKM dan koperasi. Namun ada dimensi permasalahan lain yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan UMKM di Indonesia, yang belum banyak diperbincangkan, termasuk oleh para pemegang kebijakan dalam pembentukan RUU Cipta Kerja, yaitu tentang tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas.Mengingat di tengah keterbatasan pekerjaan dan diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas, maka solusi terbaik bagi mereka adalah berusaha secara mandiri dalam lingkup UMKM. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016 mengidentifikasikan penyandang disabilitas terkonsentrasi pada sektor informal (salah satunya berusaha secara mandiri dalam skala mikro, kecil dan memengah).

Oleh karena itu, penting kiranya potensi dan tantanganyang dialamipenyandang disabilitas dalam membangun dan menjalankan UMKM,diberikan pengaturan pelindungan dan oemenuhan dalam klausul RUU Cipta Kerja berlandaskan amanat yang telah diatur dalam Pasal 56 s.d Pasal 60Undang UndangNomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas(UU Disabilitas)dan prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.

Dari hasil pengamatan Suryatiningsih Budi Lestari,dari Yayasan Ciqalyang fokus terhadap pemberdayaan ekonomi para penyandang disabilitas di Provinsi DI. Yogyakarta. Saat ini UMKM belum mendapatkan tempat yang semestinya terkendala oleh beberapa persoalan, diantaranya terkait dengan:

1.    Pasar. Ketika teman-teman penyandnag disabilitas memperoleh pelatihan dari mana pun, namun pelatihan ini belum menjawab ‘pasar’. Artinya pelatihan itu hanya sebatas project, tidak memberikan nilai tambah kepada mereka untuk bekerja atau berusaha;

2.    Pendidikan atau pelatihan. Kurikulum yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan ‘pasar’. Pendidikan harus disesuaikan dengan “pasar’. Pelatihan yang diberikan tidak hanya menyebabkan si peserta didik menjadi ‘bisa’, tapi bisa memberikan nilai tambah dalam bentuk pekerjaan;

3.    Minimnya data pekerja penyandang disabilitas dan kompetensinya. Perlu adanya perbaikan database dari semua sektor untuk kepentingan pembinaan atau pendampingan, termasuk UMKM;

4.    Minimnya unit layanan disabilitas di lembaga negara atau lembaga pemerintah daerah. Pelaku UMKM penyandang disabilitas sulit mengakses layanan perizinan atau bentuk lainnya;

5.    Pelaku UMKM dengan disabilitas Kurang memiliki pemahaman dan keterampilan IT dalam perizinan, pemasaran, maupun ketika berurusan denggan lembaga keuangan.

Saat terjadi Covid-19 ada gerakan positif dari kalangan masyarakat sipil di Provinsi DI. Yogyakarta. Para akademisi, pelaku usaha dan masyarakat yang perduli terhadap hancurnya ekonomi UMKM, dengan menggagas program Sambatan Jogja (Sonjo). Bentuk programnya tidak hanya sebatas pemberian bantuan alat kesehatan dan Sembilan bahan pokok, namun juga pelaku UMKM diberikan pelatihan, misalnya penyandang disabilitas netra agar klinik mereka memenuhi protocol Covid-19, maka mereka diajarkan memijat customer dengan metode tidak tidur, melainkan duduk.

Dalam akhir persentasinya Suryatiningsih Budi Lestarimemberikan catatan klausul perbaikan dalam RUU Cipta Kerja, yaitu

1.    Ketentuan umum, definisi masyarakat, harus memasukan masyarakat disabilitas. Tidak hanya masyatralat adat dan masyarakat lokal;

2.    Asas yang mendasari kebijakan berlaku untuk siapa. Harusnya memasukan asas non diskriminasi;

3.    Ruang lingkup. Dimasukan pekerja dan pelaku UMKM penyandang disabilitas.

Menurut Ledia Hanifa Amaliah,Anggota Badan Legislasi dan Panitia Kerja RUU Cipta Kerja DPR RI. Dalam RUU ini pembobitannya lebih kepada mikro dan kecil. Ada sejumlah konstruksi yang diubah ketika berbicara mikro atau pun kategori kecil yang sedang dilakukan pembahasan. Ada usulan berdasarkan kategori jumlah tenaga kerja, ada pula usulan yang berdasarkan omset atau lainnya. Hal-hal ini yang sedang dibahas oleh tin perumus, karena untuk usaha, misalnya start up pekerjanya sedikit namun omset mereka besar. Kemudian tim perumus juga sedang menggodok database tunggal perizinan usaha secara langsung. Ketika perizinan dilakukan secara online itu ruang lingkup kepada masyarakat secara umum atau tidak ada statement affirmative action pembahasan khsusus terhadap penyandang disabilitas. Hal lainnya yang diatur dalam cluster UMKM yang masih dalam perumusan adalah terkait standar sertifikasi atau standarisasi pengurusan atau pengujian yang harus dipermudah bagi usaha mikro. Terakhir, Ledia menyoroti terkait aspek pendanaan UMKM., ada 2 terobosan yang ditawarkan, yaitu: 1) Pembiayaan alternatif dengan modal ventura atau pembiayaan lembaga non-bank; dan 2) Adanya Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pendanaan usaha mikro yang selama ini DAK lebih kepada penyediaan prasarana fisik.

Dari paparan dua orang pembicara tersebut, Yeni Rossa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja ini kompleks, memuat 11 cluster mulai dari pekerjaan, perbankan, perumahan, kelautan, angkutan udara, investasi, dll. RUU Cipta Kerja ini dianggap RUU Sapu Jagad, “ini bagus ketika berkontribusi terhadap masyarakat yang diatur dalam UU ini. Namun karena banyak kepentingan berbeda menimbulkan konflik dari masing-masing sektor.”, tukas Yeni

Jika mengacu pada UU Disabilitas, ada landasan hukum perlindungan dan pemenuhan hak pelaku UMKM penyandang disabilitas. Pasal 56 itu mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan perlidnungan dan pendampingan. Begitu pun Pasal 57 ada kewajiban memberikan akses permodalan. Hal yang sama pada Pasal 58 terkait kewajiban memperluas peluang dalam pengadaan pasar barang dan jasa. Kemudian Pasal 59 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menfasilitasi pemasaran produk. Terakhir Pasal 60 ada kewajiban untuk memberikan pelatihan kewiirausahaan.

“Pasal-pasal ini sangat kuat untuk kita kembangkan dan masukan dalam pasal-pasal UU Cipta kerja, misalnya Pasal 104 RUU Cipta Kerja sejalan dengan Pasal 58 UU Disabilitas. Kita sebagai penyandang disabilitas mengacu pada UU Disabilitas yang mengatur UMKM dan disabilitas, kita akan menjawab tawaran bu Ledia untuk memberikan masukan atas RUU Cipta kerja ini, bagaimana memasukan yang sudah ada dalam UU Disabilitas dalam RUU Cipta Kerja yang akan kita lanjuti dalam rapat lanjutan.” Tutur Yeni.

Menurut Ledia, semua hal yang diatur dalam RUU Cipta Kerja ini masih belum terumuskan dalam norma, tim perumus akan mengerucutkan dari pendapat masing-masing fraksi dan masukan dari teman-teman penyandang disabilitas yang akan diakomodasi dalam pasal atau penjelasan.