Advokasi kita - Perlindungan Sosial

Realita Perlindungan Sosial bagi Penyandang Disabilitas

Realita Perlindungan Sosial bagi Penyandang Disabilitas

 

Beberapa negara berpenghasilan rendah telah memperkenalkan dan mememperluas sistem perlindungan sosial yang ekstensif secara masif setidaknya dalam dua dekade terakhir. Fenomena ini terjadi secara global, dan mencakup wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Praktik perlindungan sosial saat ini dapat dikatakan telah "berubah" dari yang sebelumnya berfokus pada jaring pengaman sosial berjangka pendek menjadi program yang bertujuan memperkuat keterampilan dan kapasitas individu untuk berpartisipasi penuh dalam pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraannya sesuai keinginan dan kebutuhannya.

 

Beberapa prinsip dasar dari pendekatan model ini diantaranya adalah mampu melindungi tingkat konsumsi dasar bagi rumah tangga miskin, memfasilitasi investasi dalam wujud aset, dan memperkuat institusi sosial yang ada di masyarakat seperti keluarga dan komunitas, sehingga harapannya dapat meningkatkan kemampuan individu untuk mengatasi berbagai kesulitan dan ketidakpastian. Salah satu tantangan utama perkembangan perlindungan sosial model ini, khususnya bagi negara-negara dunia ketiga, terletak pada upayanya untuk membangun perlindungan sosial yang inklusif dan mencakup kebutuhan seluruh warga negaranya. Dengan kata lain, program dan mekanisme perlindungan yang dibuat harus memberikan perlindungan yang cukup dan memadai bagi setiap kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya, tidak terkecuali penyandang disabilitas.

 

Praktik perlindungan sosial yang menyasar penyandang disabilitas di beberapa negara umumnya terbagi atas tiga model: 1) ditargetkan (misalnya bagi kelompok disabilitas miskin atau penyandang disabilitas berat); 2) kategorikal (misalnya anak-anak usia sekolah dan lansia); dan 3) universal, yang biasanya diwujudkan melalui sekam perawatan kesehatan dasar. Perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas penting dan urgen karena penyandang disabilitas menanggung apa yang disebut sebagai extra cost of disability atau ongkos ekstra atas disabilitas. Biaya ini dipahami sebagai kebutuhan individu yang relatif lebih banyak dalam bentuk barang dan layanan karena disabilitas yang dimilikinya. Dalam konteks seorang individu penyandang disabilitas memiliki penghasilan yang diasumsikan sama dengan indivisu tanpa disabilitas, kebutuhan dan konsumsi mereka akan lebih banyak dan demikian berdampak pada standar hidupnya yang lebih rendah karena harus memenuhi beberapa prioritas barang atau layanan seperti kontrol kesehatan rutin, kursi roda dan onderdilnya, ongkos transportasi, dll.

 

Bila menilik kondisi di Indonesia, perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas masih jauh dari kata cukup. Fakta menunjukkan bahwa akses penyandang disabilitas ke perlindungan sosial sangat rendah. Sejak adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas disahkan, presentasi individu yang menerima manfaat perlindungan sosial baru mencapai 27% dari total penyandang disabilitas nasional (Larasati, dkk., 2019) dan hanya sekitar 1% dari penyandang disabilitas yang benar-benar dapat mengakses perlindungan sosial khususnya bantuan sosial (OECD, 2019). Survei yang dilakukan oleh 

 juga menunjukkan kondisi yang kurang lebih sama, di mana hampir setengah kelompok disabilitas yang sangat rentan tidak mendapatkan manfaat dari perlindungan sosial dalam menghadapi berbagai guncangan ekonomi.

 

Salah satu penyebab kondisi ini adalah dijadikannya kemiskinan sebagai  kriteria penerima manfaaat perlindungan sosial. Ukuran kemiskinan biasanya dihitung dari besaran pendapatan dan kepemilikan aset. Kriteria kemiskinan ini tidak relevan mengingat hampir sulit memastikan seorang individu penyandang disabilitas berada dalam kondisi stabil seumur hidupnya, khususnya secara ekonomi. Oleh sebab itu, dalam diskursus perlindungan sosial saat ini mulai mengarah pada topik pendekatan berbasis siklus hidup. Dengan mengambil pendekatan ini, perlindungan sosial menawarkan berbagai skema perlindungan sesuai dengan "perjalanan hidupnya". Dengan kata lain, bantuan dan manfaat yang dapat diterima penyandang disabilitas dapat disesuaikan dengan kondisi aktual yang dialaminya selaras dengan  kebutuhan dan preferensinya.

 

Selain itu, perlindungan sosial yang ada saat ini juga masih cenderung menyasar rumah tangga alih-alih individu dengan disabilitas. Kekurangan dari pendekatan ini adalah tidak semua kerentanan dan kebutuhan individu dapat diakomodasi, sebab setiap penyandang disabilitas hampir dipastikan punya kebutuhan yang unik dan berbeda. Tak hanya perkara unik, kelemahan perlindungan sosial ini juga terletak pada pendataan penerima manfaatnya. Seperti yang umum diketahui, Indonesia tidak memiliki data penyandang disabilitas yang komprehensif dan aktual. Setiap lembaga hampir punya datanya masing-masing, yang tidak jarang juga berbeda. Penyebab kondisi ini pun beragam, mulai dari rendahnya pengetahuan petugas survei tentang disabilitas, pedoman asesmen yang tidak mengeksplor pertanyaan-pertanyaan disabilitas, hingga hambatan komunikasi dengan para penyandang disabilitas (terkait juru bahasa isyarat, dan sebagainya). Untuk konteks Indonesia, penyandang disabilitas juga biasanya hidup menumpang dengan keluarga besarnya yang dianggap mampu sehingga tidak masuk hitungan sebagai rumah tangga miskin yang berhak menerima bantuan. Stigma yang begitu kuat kepada para penyandang disabilitas juga sering kali menghambat mereka dalam proses pendataan karena sulit dijangkau.