Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (World Mental Health Day) — sebuah momentum global untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa dan menegaskan bahwa setiap manusia berhak hidup bermartabat tanpa diskriminasi. Namun di balik kampanye bertema “Wellbeing for All” atau “Mental Health is a Universal Human Right”, terdapat realitas pahit yang masih luput dari perhatian publik: puluhan ribu orang dengan disabilitas psikososial di Indonesia masih dikurung di dalam panti-panti, kehilangan kebebasan, dan dilupakan oleh sistem.
Menurut data Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), hingga kini diperkirakan terdapat lebih dari 13.500 orang dengan disabilitas psikososial yang masih hidup dalam kondisi pengurungan di panti-panti rehabilitasi dan lembaga serupa, dengan sekitar separuhnya adalah perempuan. Mereka dikurung bukan karena tindak pidana, melainkan karena stigma, ketakutan, dan ketiadaan dukungan sosial yang memadai. Banyak di antara mereka mengalami kekerasan, penelantaran, dan kehilangan hak dasar untuk hidup secara bebas dan bermartabat. Pengurungan di panti menjadi bentuk pemasungan modern — praktik yang melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan prinsip pemulihan berbasis masyarakat sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).
Kenyataan ini kembali mendapat sorotan dalam audiensi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pada 8 Oktober 2025 ini dipimpin oleh Ibu Linda, Asisten Deputi Peningkatan Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan, dan dihadiri oleh sejumlah pejabat dari Kemenko PMK. Pertemuan tersebut membahas persoalan mendasar dalam sistem layanan kesehatan jiwa di Indonesia, terutama terkait penghapusan praktik pengurungan di panti dan penguatan Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM) sebagai mekanisme lintas sektor untuk mewujudkan layanan berbasis komunitas.
Dalam kesempatan itu, PJS menayangkan video dokumentasi yang diambil dari kanal PJS Media di YouTube, memperlihatkan kondisi nyata di dalam panti: orang-orang duduk di lantai tanpa alas, ruang-ruang tertutup tanpa ventilasi, dan wajah-wajah kosong yang telah lama kehilangan kebebasan. Tayangan ini menghadirkan bukti visual tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di balik tembok institusi yang disebut “rehabilitasi.” PJS menegaskan bahwa pengurungan semacam itu bukan bentuk perawatan, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang meniadakan prinsip kemanusiaan dan pemulihan.
PJS menyampaikan sejumlah usulan konkret kepada pemerintah, antara lain:
- Menyertakan bab khusus tentang partisipasi masyarakat dan perlindungan sosial adaptif bagi penyintas panti dalam kebijakan TPKJM.
- Membangun sistem dukungan berbasis masyarakat (community-based support) yang memungkinkan penyandang disabilitas psikososial hidup mandiri dan diterima di masyarakat.
- Meningkatkan koordinasi lintas sektor, melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Bappenas, dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan kebijakan inklusif dapat dijalankan secara efektif.
PJS menekankan bahwa tanpa dukungan sosial yang memadai — seperti akses perumahan, jaminan sosial, pekerjaan, dan layanan kesehatan berbasis komunitas — penyintas panti akan terus menghadapi risiko kembali dikurung. “TPKJM tidak akan berjalan efektif tanpa perlindungan sosial yang kuat,” tegas perwakilan PJS dalam audiensi tersebut.
Menanggapi paparan ini, Ibu Linda dari Kemenko PMK menyatakan bahwa isu pengurungan di panti adalah persoalan serius yang harus mendapat perhatian nasional. Ia menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mengintegrasikan isu ini dalam kebijakan lintas kementerian, mengingat masalah tersebut mencakup aspek kesehatan, sosial, dan hak asasi manusia. Menurutnya, diperlukan rumah aman (safe house) sebagai tempat transisi bagi penyintas panti sebelum kembali ke masyarakat, serta edukasi publik berkelanjutan untuk menghapus stigma terhadap penyandang disabilitas psikososial.
Lebih lanjut, Kemenko PMK juga menyoroti pentingnya pengawasan dan evaluasi independen terhadap panti-panti rehabilitasi agar dapat bertransformasi menjadi lembaga yang manusiawi — terbuka, partisipatif, dan menghormati pilihan individu. “Kita tidak boleh lagi menutup mata. Mereka yang hidup di balik tembok panti juga bagian dari bangsa ini,” ujar Ibu Linda dalam pernyataannya.
Momentum Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2025 menjadi pengingat bahwa kesehatan jiwa bukan hanya urusan medis, tetapi juga urusan kemanusiaan dan keadilan sosial. Selama masih ada orang yang dikurung di panti atas nama perawatan, maka bangsa ini belum sepenuhnya menghargai nilai kemanusiaan yang seutuhnya.
Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk:
- Menghapus praktik pengurungan dan institusionalisasi penyandang disabilitas psikososial.
- Mengembangkan sistem layanan berbasis komunitas yang menghormati pilihan dan martabat individu.
- Menjamin perlindungan sosial yang adil dan berkelanjutan bagi para penyintas panti.
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini mengingatkan kita bahwa pemulihan sejati tidak bisa terjadi di balik jeruji, melainkan di tengah masyarakat yang inklusif dan penuh empati. Mari bersama-sama memastikan tidak ada satu pun jiwa yang dilupakan, tidak ada satu pun manusia yang dikurung karena perbedaan cara berpikir, merasa, atau bertindak.
Jangan lupakan mereka yang masih terkurung. Buka gerbang panti, buka hati, dan pulihkan kemanusiaan kita bersama.