Pekerjaan

Pekerjaan

“Melawan Hambatan Penyandang Disabilitas Mental untuk Memperoleh Pekerjaan

Setiap orang berpotensi menjadi disabilitas, bukan hanya karena kelainan dalam kandungan, namun bisa terjadi karena kecelakaan, dan bencana alam (Latief, 1999: 40). Jumlahnya diperkirakan sekitar 21,84 juta jiwa atau 8,56% dari populasi penduduk Indonesia (BPS, 2015), lebih dari 70%-nya merupakan penduduk usia kerja (LPEM FEB UI, 2017). Menurut United Nations Enable, yang dikutif Larson (2014; 222) sekitar 80% penyandang disabilitas usia produktif di negara-negara sedang berkembang tidak memiliki pekerjaan.

Penyandang disabilitas kesulitaan mendapatkan kesempatan bekerja karena stigma yang masih melihat mereka penuh dengan ketidakmampuan secara medis, atau dianggap sebagai orang sakit yang selalu membutuhkan pertolongan. Padahal mereka memerlukan pekerjaan untuk alasan mencari nafkah, memanfaatkan keterampilan mereka, dan memberikan kontribusi kepada masyarakat yang lebih baik (Butler, Crudden, & Sansing, 2005).ecara hukum konstitusi Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara jelas menjamin hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi seluruh warga negara, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat (2), yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pengaturan lebih lanjut sebagai pengejahwantahan hak mendapat pekerjaan yang layak seperti diatur dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu dalam Pasal 5 menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan.” 

Kemudian Pasal 27 ayat (1) huruf h Convention on The Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang kemudian diratifikasi dan diundangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), menyebutkan pentingnya tindakan afirmatif terutama pada sektor tenaga kerja. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa tindakan afirmatif pada sektor pekerjaan berlandaskan pada asas kesetaraan dengan orang lain (non-disabilitas) agar penyandang disabilitas dapat sejajar dengan non-disabilitas.

Namun pada kenyataannya Kami menemukan pemerintah Indonesia secara sistematis dan terstruktur melakukan diskriminasi secara terang-terangan (blatant discrimination) terhadap pentandang disabilitas khususnya Penyandang Disabilitas Mental (PDM) terkait hak atas pekerjaan. Diskriminasi ini salah satunya berbentuk persyaratan sehat jasmani dan rohani. Selain itu, Pemerintah juga membiarkan pihak swasta untuk melakukan diskriminasi berdasarkan disabilitas terhadap pencari kerja.

Surat sehat jasmani dan rohani adalah surat yang dikeluarkan oleh lembaga pelayanan kesehatan untuk membuktikan bahwa pemegang surat tidak memiliki masalah

kesehatan fisik dan kesehatan mental. Sebelumnya, surat keterangan sehat jasmani juga memasukkan disabilitas fisik dan sensorik sebagai salah satu masalah kesehatan jasmani. Namun, pada saat ini sudah mulai ada reinterpretasi terhadap surat keterangan sehat jasmani yang mana disabilitas fisik dan sensorik mulai tidak lagi dimasukkan sebagai kategori masalah fisik. Sayangnya surat keterangan sehat rohani masih berpedoman pada pemeriksaan psikiatri dan wawancara dengan dokter/psikiater. 

Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi dan menjadi penghambat bagi PDM untuk mendaftar pekerjaan. Bahkan melalui jalur disabilitas pun, PDM seringkali dilarang untuk mendaftar. Misalnya pada penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Sosial Tahun 2019 dan calon pekerja Badan Usaha Milik Negara tahun 2018, tidak memberikan kuota untuk kualifikasi PDM padahal ragam disabilitas lain mendapatkan kuota melalui jalur disabilitas. 

Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, memberikan jaminan bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana tertuang dalam Pasal 53 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Sementara itu, pada ayat berikutnya Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Bentuk diskriminasi lain yang diterima PDM yaitu sulitnya memperoleh akses program pengembangan karier dan pelatihan kerja. Pada tahun 2019 seorang PDM berusaha untuk mendaftar program sertifikasi keahlian IT yang diadakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui jalur khusus disabilitas. Ia berharap melalui jalur ini ada affirmative action dan akomodasi yang layak bilamana dibutuhkan. Namun, tidak ada pilihan disabilitas mental di kolom ragam disabilitas pada formulir pendaftaran. Ia pun berusaha mengklarifikasi kepada penyelenggara dan mendapatkan jawaban bahwa disabilitas mental memang belum bisa diterima untuk ikut sertifikasi.

Kami menemukan pula kasus-kasus PDM yang diberhentikan dari pekerjaan setelah diketahui bahwa yang bersangkutan memiliki masalah kesehatan jiwa. Salah satu diantaranya dikeluarkan dari pekerjaan setelah dia (perempuan) mengajukan surat keterangan sakit yang menjelaskan bahwa dia tidak masuk kantor selama beberapa waktu karena sakit. Pihak perusahaan mengetahui permasalah kejiwaan yang dialami oleh korban karena surat keterangan sakit yang Ia berikan dikeluarkan oleh bangsal psikiatri. Setelah mengetahui kondisi kesehatan mental ini, perusahaan melakukan tindakan diskriminasi terhadap korban dengan menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman, tidak memberikan pekerjaan, sehingga akhirnya dia terpaksa mengundurkan diri. Kemudian ada pula kasus lainnya korban berinisial ‘K’ yang bekerja di perusahaan IT tidak berani bercerita bahwa Ia membutuhkan jeda untuk istirahat secara berkala. ‘K’ pun tidak berani meminta izin untuk berobat karena khawatir surat keterangan berobat yang dikeluarkan berasal dari psikiater. Namun konsekuensinya ‘K’ dianggap sering membolos yang berujung pada pemecatan. 

Penyandang disabilitas mental mempunyai kesamaan kesempatan atas pekerjaan. Kesamaan kesempatan tersebut yang selama ini kami advolkasi dalam hal bebas dari diskriminasi pada saat perekrutan sampai dengan bekerja, pengembangan karir, memperoleh lingkungan kerja yang sehat dan aman, mendirikan organisasi pekerja dan ikut terlibat didalamnya, memperoleh upah dan tunjangan yang layak, memperoleh jaminan asuransi kerja, memperoleh akses terhadap program keterampilan dan keaahhlian kerja, dan memiliki pekerjaan sendiri atau wiraswasta.

REFERENSI

Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia; Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2015, Jakarta: 2015.

Butler, S., Crudden, A., & Sansing, W., Overcoming Barriers to Employment: Strategies of Rehabilitation Providers. Journal of Visual Impairment & Blindness Vol. 99 (6), Hlm. 1 – 20. 

David A. Larson, Access to Justice for Persons with Disabilities: An Emerging Strategy. Laws, Vol. 3. No. 2, 2014, Hlm. 222.

Istifarroh & Widhi Cahyo Nugroho, Perlindungan Hak Disabilitas Mendapatkan Pekerjaan Di Perusahaan Swasta dan Perusahaan Milik Negara. Mimbar Keadilan Vol. 12, No. 1, 2019, Hlm. 32.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Memetakan Penyandang Disabilitas (Pd) Di Pasar Tenaga Kerja Indonesia, Laporan Akhir, Jakarta, 2017. 

M. Syahbuddin Latief, Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat Hak Asasi Manusia,Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta: 1999, hlm. 40.

Wardah dan Susiana, Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Dalam Mendapatkan Pekerjaan di BUMN, Law Reform Vol. 15, No. 2, 2019.

Yani Fathur Rohman, Eksklusi Sosial dan Tantangan Penyandang Disabilitas Penglihatan Terhadap Akses Pekerjaan, Indonesian Journal of Religion and Society Vol. 01 (01), Jakarta: 2019.

Yeni Rosa, et.al, The Forgotten People; Alternative Report to UN CRPD Committee on the Situation of People with Psychosocial Disability in Indonesia, Perhimpunan Jiwa Sehat, LBH. Masyarakat, dan Human Rights Working Group, Jakarta: 2020.